“Seiring dengan perkembangan bahasa, bahasa nusantara berawal dari bahasa sangsekerta seperti yang ada dalam naskah lontar kuno” (Budayawan Lombok, H. Safwan menjelaskan tentang naskah lontar kuno, Rabu, 26/10/2022)
Jurnalif.com, Mataram—Naskah lontar kuno adalah salah satu dari banyaknya jenis naskah kuno yang masih terjaga di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat. Museum yang didirikan 40 tahun silam, tepatnya 23 Januari 1982, memiliki 7.444 koleksi dan 1.361 koleksi di antaranya berupa 416 judul naskah lama berbahan baku daun lontar dan kertas.
Konon menurut sejarahnya, naskah lontar kuno mulai ditulis pada abad ke 16-17 masehi dan menjadi sarana untuk memperkenalkan agama islam di tanah Sasak. Naskah lontar masuk dalam jenis koleksi filologika yang dijaga oleh Museum Negeri NTB, dan masih menjadi daya tarik pengunjung yang kepo terhadap perkembangan sastra di tanah Sasak.
H. Safwan seorang Budayawan menjelaskan tentang sejarah naskah lontar kuno yang menjadi bukti dari mencintai budaya dan warisan leluhur Sasak. Naskah lontar kuno khas sasak sendiri kebanyakan berisi tentang legenda masyarakat sasak, kitab-kitab yang dikarang oleh pujangga murid dari Sunan Kalijaga, antara lain; Cilinaya, Cupak Ranten, kisah pewayangan, ada juga cerita lokal tentang Rengganis, Samalas (Rinjani) dan masih banyak lagi.
“Mempelajari naskah lontar itu bukan seperti membaca buku, melainkan kita harus paham terlebih dahulu terhadap sejarah,” Ujar Safwan
Bahasa simbol yang ada dalam naskah lontar kuno membuat orang yang ingin menafsirkannya harus banyak belajar dan mengerti sejarah. Naskah yang ditulis dengan aksara jejawan dan menggunakan bahasa rerumputan kawi itu memang menarik untuk ditelusuri maknanya lebih dalam.
Pepaosan adalah tradisi membaca naskah lontar kuno dalam upacara adat. Pujangga sebutan untuk pembaca dan penyair naskah lontar biasanya membacakan naskah lontar kuno yang maknanya sesuai dengan maksud serta tujuan dari acara tersebut. Misalnya saja, dalam acara syukuran panen, kitab yang biasa dibaca bernama “Takepan Kartanah”, dalam acara syukuran pernikahan dibacakan kitab berjudul “Rengganis”, dan dalam acara khitanan yang dibacakan adalah kitab “Jatiswara” yang berkaitan dengan masuknya islam.
Ciri khas naskah Sasak adalah ceritanya yang tidak pernah selesai atau penulisannya yang hanya sepotong. Seperti naskah Jatiswara misalnya, yang penulisannya tidak selesai dan hanya dibutuhkan saat upacara dan masih banyak naskah kuno yang belum diketahui penulis aslinya karena masih kurangnya kajian terhadap naskah-naskah ini.
Salsabila Luqyana (27) atau akrab disapa Lala adalah seorang tenaga bantu konservasi di Museum Negeri NTB yang banyak bergelut dengan naskah lontar. Anak muda yang juga peduli terhadap sejarah ini menceritakan tentang upaya museum untuk tetap menjaga dan melestarikan naskah lontar kuno yang menjadi bagian penting dari peradaban literasi di tanah Sasak.
“Untuk pelestarian nya dari segi perawatan, museum memiliki program konservasi koleksi mulai dari perawatan rutin hingga penyimpanan. Ada juga program-program seperti sekolah filologika dan transliterasi naskah supaya memudahkan masyarakat untuk memahami tulisan dalam naskah kuno.” kata Lala saat ditemui di Museum NTB, Selasa (11/10/2022)
Upaya Museum Negeri NTB dalam menjaga kelestarian naskah lontar kuno
Dalam perawatannya sendiri, naskah kuno memiliki 3 cara sesuai dengan keadaan naskah yang ada yaitu; Pertama prefentif di mana setiap hari para konservator harus mengecek naskah-naskah yang berada di etalase ataupun di storage (gudang penyimpanan) karena bahan organik seperti naskah lontar rentan terhadap suhu, harus tetap dicek dan dibersihkan dari debu. Kedua kuratif, ini adalah perawatan naskah apabila sudah mulai dikerumuni rayap atau serangga lain, maka akan diberikan obat untuk menghilangkan serangga. Yang terakhir adalah restorasi, ini merupakan cara perawatan untuk naskah yang sudah mengalami kerusakan parah seperti patah, sobek ataupun hilang. Restorasi bukan hanya memberikan obat tapi juga memperbaiki naskah yang patah maupun sobek tadi.
Museum Negeri NTB juga memiliki cara lain dalam melestarikan naskah lontar kuno dari segi literasinya, yaitu dengan membuka sekolah filologika. Sekolah filologika mempelajari bagaimana cara menulis, membaca, dan menerjemahkan naskah kuno, serta mengkaji nilai-nilai apa saja yang terkandung di dalamnya. Sekolah filologika pertama kali dibuka pada April 2021 dan kini sudah memasuki tahun kedua yang peminatnya tidak kalah dengan tahun pertama.
Pelestarian dalam segi budaya juga tak luput dari perhatian pihak Museum NTB dengan mengadakan tradisi tahunan yaitu membaca naskah kuno atau lebih dikenal dengan tradisi pepaosan. Tradisi pepaosan menjadi kegiatan tahunan museum untuk mengenalkan naskah kuno agar tetap dikenal oleh seluruh generasi.
Lala menjelaskan terkait problem yang dihadapi dalam pelestarian dari segi literasi naskah kuno, yaitu kurangnya SDM (sumber daya manusia) yang bisa megkaji isi dalam naskah karena tingkatan naskah yang sangat banyak.
“Setahu saya, problem di Lombok adalah banyak yang bisa membaca naskah, tapi tidak bisa memahami dan menafsirkan isi dari naskah tersebut. Kita kurang kuat untuk mengerti isi naskah karna bahasanya yang sangat puitis, makaknya dibutuhkan kajian mendalam untuk menafsirkan ini,” tutup lala
Pelestarian yang dilakukan oleh Museum Negeri NTB baik dari sisi literasi, konservasi, dan budaya untuk menjaga naskah kuno agar tetap dikenal oleh seluruh generasi sudah mengantarkan naskah-naskah kuno bertahan sampai sekarang. Diharapkan ke depannya akan ada tenaga ahli yang bisa memperkuat kajian tentang isi naskah kuno yang memiliki nilai luhur, untuk di implementasikan dalam interaksi sosial guna membentuk sifat dan perilaku adab yang sesuai dengan niilai-nilai luhur yang agung.
Nurul Inayah/Nayasofyan/ UIN Mataram
*****
Catatan Redaksi:
Berita ini adalah karya mahasiswa UIN Mataram yang terlibat program magang (PKL) di Sekretariat AJI Mataram.