Pisang Goreng, Cinta, dan Sisa Kepercayaan Publik Pada Media

Permakluman:
Ini tulisan adalah pengantar diskusi FORUM BERAYAN, dibuat tanpa proses verifikasi, juga terindikasi sudah terjangkit penyakit BSS (Bacaan/berita satu sumber). Dia ditulis hanya dengan mengandalkan sumber: perasaan. Semacam solilokui—konon katanya menuliskan dialog dengan diri sendiri itu bagus untuk ajang berlatih bagi penulis pemula, juga katanya baik untuk terapi kejiwaan. Entahlah. Jadi sebaiknya jangan terlalu diambil hati atas isi tulisan ini, kalau berkenan sila dinikmati.

_____________________

Aku ingin mengukur kemampuanmu. Cobalah kau buat sebuah paragraf dengan kalimat; Pisang goreng, cinta, dan sisa kepercayaan public pada media.

Hei, Macam ujian sekolahan saja. Ingat hubungan kita ini setara, kau bukan atasanku, juga bukan departemen pendidikan yang senang ukur-ukur kemampuan pelajar dengan ujian nasional. Hidup ini sudah terlalu banyak ujiannya bro, jangan nambah-nambah dengan urusan memaksa menghubung-hubungkan pisang goreng, cinta, dan sisa kepercayaan publik pada media. Jangan nyari-nyari hal. Banyak persoalan yang lebih penting untuk segera dicarikan pemecahannya.

Kalau kau tak sanggup bilang saja, jangan ngeles, nyari-nyari alasan untuk mengaburkan kemalasanmu.

Ah, lagi-lagi prasangka. Aku belum tuntas memberikan pengantar, kamu sudah membuat kesimpulan. Biasakan mendengar hingga kelar, setelah itu beri sedikit waktu otakmu bekerja, mencerna apa yang kau dengar, baru melontarkan tanggapan. Jangan main sambar saja. Hari-hati kau. Nenek moyang kita sudah jauh-jauh hari mengingatkan; Mulutmu hariamaumu!

Terus…

Aku pasti akan menjawab tantanganmu.

Terus…

Ya tunggu dulu. Untuk menjawab sesuatu itu kita juga perlu mengumpulkan data-data pendukung, agar jawaban kita benar dan bisa diterima dengan baik. Bisa saja aku menjawab serampangan, tapi tentu kau akan bilang ngawur. Oleh karenanya, berikan aku waktu untuk mengurai satu persatu kalimat itu; pisang goreng, cinta dan sisa kepercayaan publik pada media. Sekarang kau duduk manis saja, belajar menjadi penyimak yang baik. Aku akan berbicara pelan-pelan, kalau kurang jelas, minta saja untuk kuulang, karena aku tahu seberapa kemampuan otakmu bekerja. (Heran di era 5.0 masih ada yang memelihara PC system DOS)

Jangan ngawur. Jaga omonganmu! Itu pelecehan! Penghinaan! Ingat pasal-pasal karet UU ITE masih berlaku, sekali kulaporkan, tamat riwayatmu!

Ups. Baiklah. Kita berdamai. Aku minta maaf kalau kau tersinggung.

Maaf-maaf, enak saja. Kebiasaan kamu. Mengumbar omong kosong, menghina, mengumpat, ujung-ujungnya minta maaf. Kebanyakan  nonton politiktaiment kamu ini. Sekarang fokuslah pada tugasmu membuat sebuah paragrap. Aku beri kau waktu lima menit, kalau kau tak sanggup, angkat tangan dari sekarang.

Tapi kau harus janji tak akan menyela.

Ok. Aku akan diam, duduk manis mendengarkan bualanmu. Eh argumentasimu.

Baiklah. Dengarkan baik-baik. (menarik nafas, menyimpan dalam perut, lalu mengerluarkan perlahan dari mulut).

Kau ingat, suatu ketika aku pernah mengatakan akan membuat buku: Anakku Jangan Jadi Wartawan?

Wakakakaka…. Aku ingat betul, itu buku hoax yang cuma ada dalam bualanmu. Kau umbar ke mana-mana tentang buku itu sejak zaman halal lepang, dan sampai presiden berganti berulang kali, buku itu masih belum berwujud. Aseli itu buku HOAX.

Kau sudah berjanji untuk tidak menyela. Ini giliranku bicara.

Mmmm… ok

Kau mesti percaya, bahwa buku itu seperti bayi kita. Tak kita tahu kapan dia akan lahir. Aku juga tak mau memaksakannya, nanti bisa prematur. Kalau sudah waktunya, dia pasti akan terlahir, dan tumbuh besar menjalani takdirnya. Tolong jangan kau komentari bagian ini!

Nah buku itu ada kaitannya dengan tugasmu kali ini. Tugas membuat paragraf dari kalimat; pisang goreng, cinta, dan sisia-sisa kepercayaan publik pada media.

Biar kau tahu hubungannya, aku akan urai satu persatu. Mulai dari pasal sisa-sisa kepercayaan publik pada media. Konon ada beberapa lembaga survey, peneliti, dan akademisi yang kerjaanya mengukur seberapa percaya publik pada media. Media yang ku maksud di sini adalah media mainstream, media tradisional: koran, televisi dan radio. Tapi di sini aku ingatkan sekali lagi bahwa Sedari awal sudah ku bilang  bahwa tulisanku ini tak didasari dengan proses verifikasi. Aku juga tak menyuguhkan data-data penelitian atau survey itu. Kalau kau mau cari saja sendiri. Buka google, ketik saja kepercayaan public pada media. Kau akan disuguhkan sejumlah tulisan yang memuat data tentang itu. Kalau kau malas, aku beri sedikit bocoran: Tingkat kepercayaan publik pada media sudah runtuh bro!  Sudah diambang ketidakpercayaan!

Perihal sebab keruntuhan kepercayaan publik itu, kau cari saja sendiri. Sekalian kau latih lagi kebisaan untuk membaca, jangan malas. Kalau kau mau mendengar pandanganku, kepercayaan publik pada media itu lantaran faktor eksternal dan internal. Faktor ekternalnya, karena di era banjir bandang informasi ini, teramat berlimpahnya media yang menjadi produsen informasi. Media arus utama yang semula menjadi sumber utama informasi publik, sekarang harus bersaing dengan media sosial yang didalamnya siapa saja bisa menjadi konsumen sekaligus produsen berita. Kecepatan yang utama, akurasi menyusul jauh dibelakangnya.

Di bagian awal tulisan ini, aku menyebut kata verifikasi dan BSS (berita satu sumber). Nah kecurigaanku, faktor internal itulah yang menjadi salah dua penyebab merosyotnya kepercayaan publik pada media. Aku menemukan ada wartawan-wartawan yang bekerja di media massa, bahkan media masa terkenal yang malas melakukan proses verifikasi. Padahal sebuah berita yang hadir di ruang publik semestinya menjalani tahapan verifikasi yang ketat. Itu pelajaran awal yang kita terima waktu dulu mengikuti pelatihan dasar jurnalistik. Kata itu juga seringkali diingatkan oleh para senior kita; bahwa berita itu adalah informasi yang sudah terverifikasi.

Seuntai dengan proses verifikasi yang lemah, penyakit BSS juga menjangkiti wartawan dan media kita. Dengan alasan kecepatan, mereka main hantam saja menerbitkan berita dengan mengandalkan satu sumber. Urusan keberimbangan, cover both side,  atau komplain yang muncul kemudian, menyusul penyelesaiannya.

Contoh paling sederhana dari perilaku ini adalah penyakit wartawan kita memuat press release dari sebuah lembaga, terutama lembaga pemerintah, juga perusahaan swasta, tanpa melakukan verifikasi dan mencoba mencari sumber pembanding. Mereka dengan nyamannya memuat ompol-ompol (utuh) siaran pers itu. Tinggal copy paste, lalu memilih salah satu dari beberapa judul yang disediakan si pemberi siaran pers. Mudah bukan?

Kalau seperti ini keadanya, kamu bisa bayangkan macam apa berita yang disuguhkan media kepada publik sebagai pembacanya? Celakanya lagi kalau si produsen siaran pers itu memberikan imbalan kepada jurnalis atau media yang memuat siaran persnya. Kalau lembaga itu adalah sebuah perusahaan bermodal besar yang tengah berkonflik dengan rakyat, misalnya, maka kita akan disuguhi berita-berita berisi kepentingan si perusahaan itu. Mereka tak sekedar menyiapkan juru bicara yang secara khusus digaji untuk menjaga citra perusahaan, dengan berbagai fasilitasnya wartawan dan medianya sudah bisa disulap menjadi juru bicara mereka. Lantas siapa sudi menjadi penyambung suara rakyat yang tak bisa membayar juru bicara? Aku miris dengan situasi ini, bro. Miris.

Sudah-sudah, sekarang bagaimana dengan cinta?

Ada apa dengan cinta? Pada bagian ini, aku ingin menyatakan respek, salam takzim kepada media-media berikut juga kepada para jurnalisnya yang masih  setia bekerja menjaga kepercayaan publik. Yang menjaga marwah ruang redaksi, menjaga pagar api.  Kau tahu bagaimana berdarah-darahnya mereka bertahan, terlebih di tengah pandemi ini. Sebagian mereka memecat eh merumahkan karyawan dan wartawannya, mengurangi besaran honor, menutup penerbitan versi cetak lalu bermigrasi ke ruang digital.

Hubungannya dengan cinta?

Sebentar.. sabarlah.
Aku menyimpulkan kalaulah bukan karena cinta, siapa yang mau mengerjakan pekerjaan gila itu. Kau pasti bilang ini lebay. Tak mengapa. Tapi coba kau bayangkan, gunakan perasaanmu. Bagaimana jika kau menjadi wartawan yang bekerja dengan kewajiban membuat tiga sampai lima berita sehari lalu diberi gaji separuh dari gaji normal, yang besarannya di bawah UMP (upah minimum provinsi). Jika sebelumnya gaji normal itu pas-pasan untuk membiayai makan anak istri, membayar cicilan rumah atau motor, lantas bagaimana jadinya jika nominal gaji itu dipangkas separuhnya. Ilmu matematika mana yang akan dipakai untuk membuat pemasukan itu bisa menyeimbangkan kebutuhan atau pengeluaran?

Itu untuk wartawan yang berstatus karyawan. Mereka yang bersatus kontributor, sudah sejak lama berdarah-darah nasibnya. Kau kan tahu kalau kontributor itu dibayar sesuai dengan berita yang ditayangkan. Semacam buruh harian. Kalau kau tak bekerja menghasilkan berita selama sebulan—entah berhalangan karena sakit, melahirkan, atau urusan keluarga—maka terimalah kemurunganmu; tak akan uang yang masuk ke rekeningmu bulan depan.

Sekali lagi di sini aku melihat cinta itu, Bro! Hanya orang-orang gila yang mau melakukan pekerjaan gila ini.

Ah lebay, sekarang pisang goreng.

Nah bagian ini yang paling aku suka. Ceritanya begini, suatu hari aku berjalan dengan istriku.

Sebentar… istriku?

Ok. Aku lupa istriku ya istrimu juga. Nah waktu berjalan di  bypass menuju bandara, di dekat trowongan pertama, ada orang-orang berkumpul,  di tepi jalan, lajur lamban. Mereka rupanya tengah mengerubungi pedagang pisang goreng. Rame Bro.  Pedagangnya seorang lelaki dan perempuan. Menurutku mereka adalah pasangan suami istri.

Nah pasangan suami istri itu terlihat bekerja dengan gembira, mereka melayani pembeli dengan senyum, sambil terus bergerak, membelah pisang, mengaduk adonan, menceburkan pisang ke minyak panas, memisahkan pisang-pisang yang saling berpelukan, mengangkat, meniriskan, membungkus pisang goreng sesuai pesanan, dan menyelesaikan urusan transaksi jual beli. Mereka adalah pasangan yang padu, tak terlihat ada rona kecut di wajah mereka.

Di samping rombong pisang goreng itu, ada ibu paruh baya yang duduk menunggui meja dengan jejeran nasi kuning terbungkus plastik mika. Di sudut meja lapak si ibu, ada sepiring pisang goreng. Tak perlu uji lab, dari penampakannya dapatlah ditebak bahwa pisang goreng itu berasal dari sepasang pedagang di sebelahnya. Matahari sudah nyaris di atas kepala waktu itu, si ibu pedagang nasi bergeser ke bawah pohon, di belakang lapaknya. Dia membawa takilan nasi. Entah hendak sarapan atau makan siang. Si ibu pedagang nasi manawari sepasang pedagang untuk makan bersama. “Nggih, sila side dulauan,” jawab si pedagang pisang goreng perempuan, sambal mengangkat pisang goreng kuning kecoklatan.

Duh.. aku melihat harmoni di ditu bro. Aku melihat cinta, aku melihat ketulusan sepasang pedagang menyiapkan dagangannya, aku melihat kepercayaan para pelanggan yang menunggu giliran dilayani, aku melihat ekonomi yang berputar yang dibangun dengan semangat kebersamaan, saling percaya.

Terus..

Aku terpesona Bro. Aku membayangkan para pekerja media yang bekerja dengan cinta, menyiapkan hidangan berita yang terpercaya kepada publik,  dan publik dengan kesadarannya mengapresiasi kehadiran media itu, menjadikannya rujukan, berlangganan, berdonasi, beriklan, agar media itu terus bisa hadir dengan informasi yang mereka butuhkan. Medianya terpercaya, wartawannya sejahtera, publiknya bergembira. Duh… aku terpesona.

Terus kamu mau bikin media yang seperti itu?

Ndak. Aku mau jadi penjual pisang goreng.

Ah…. kelakuanmu. Jangan membual lagi, sekarang selesaikan tugasmu; buatlah sebuah paragraf dengan  kalimat: pisang goreng, cinta dan sisa-sia kepercayaan public pada media.

Baiklah. Dengarkan baik-baik.
“Anakku jangan jadi wartawan!….”

Hey.. jangan promosikan buku hoax itu!

Sudahlah dengarkan dulu, jangan menyela.
Anakku jangan jadi wartawan! Berat Nak! Berat! Tapi kalau kau memaksa, jadilah wartawan yang bekerja dengan cinta, seperti mereka yang masih terus bertahan menjaga marwahnya, di tengah runtuhnya kepercayaan publik pada media. Janganlah melacurkan kepercayaan publik itu, karena sungguh berat untuk memulihkannya. Menggadai independensi pada penguasa dan para pemodal akan membuat mediamu enteng digoreng-goreng, lebih mulia jika kau tetap bertahan, menjaga harga diri dan marhaw profesimu, meskipun kau harus menjadi penjual pisang goreng[.] ABDUL LATIEF APRIAMAN

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *