Seminggu setelah hari persalinan, akhirnya pak Hayyi telah menemukan sebuah nama bagi anak keduanya. Dengan penuh pertimbangan dari berbagai sisi dan sudut pandang. Bagi pak Hayyi, nama bukanlah hanya sebuah kata untuk menandakan seseorang. Lebih dari itu, nama baginya adalah sebuah do’a dan harapan serta bentuk kesyukuran atas anugrah yang diterima dari Tuhan.
Setelah melewati berbagai prosesi agama dan adat yang biasa dilakukan dalam pemberian nama seorang bayi. Maka, Hayyun, nama itu adalah Hayyun. Karena rasa syukurnya setelah melewati kesulitan dan segala prediksi serta spekulasi dokter yang membantu persalinan. Harapan pak Hayyi semoga anaknya menjadi seseorang yang hatinya hidup dan memberi kehidupan.
Hayyun seperti gembira dengan nama yang disandangnya, menjadikan setiap orang yang melihatnya ikut bahagia menyaksikan bayi Hayyun yang lucu dan menggemaskan. Kartiye, sang kakak pun tidak kalah gembira dengan hadirnya sang adik. Dia bahkan bercerita kepada siapapun tentang hari persalinan yang cukup membuatnya gelisah dan khawatir. Dia bercerita tentang betapa dia memiliki andil yang cukup hebat di hari tersebut.
Warga yang turut berbahagia dengan kelahiran itu, sejak pagi sampai hampir petang tidak putus-putusnya berkunjung secara bergantian. Memberikan ucapan selamat kepada keluarga pak Hayyi, yang memang cukup dihormati di kampung itu. Berbagai macam barang dibawa sebagai hadiah atas kelahiran bayi Hayyun. Kegembiraan yang hangat hidup terasa di dalam keluarga pak Hayyi, bahkan pepohonanpun seperti menyumbang kegembiraan dengan memberi teduh di sekitar pekarangan rumah pak Hayyi. Kicau burung-burung riuh bernyanyi semenjak rumah itu kedatangan tamu baru yang lucu.
Genap satu bulan kegembiraan keluarga tersebut cukup menyita segala aktivitas. Akhirnya pak Hayyi kembali memulai rutinitasnya di sebuah wakaf (surau) di dekat sawah di pinggiran dusun Galih Punti’. Di setiap waktu menjelang shalat, beliau sudah sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan para petani yang akan menunaikan ibadah shalat, atau orang-orang yang kebetulan melintas disekitar tempat itu. Selain itu, beliau memang petani yang cukup handal, sehingga sering dimintai pendapat tentang tanaman dan segala hal tentang cocok tanam. Dari penentuan masa tanam hingga jenis tanaman apa yang sebaiknya ditanam pada musim-musim tertentu.
Para petani kampung itu tergolong cukup kompak dan unik dalam urusan tanam-menanam. Setiap petak sawah biasanya menanam jenis tanaman yang berbeda, sehingga hampir semua jenis makanan pokok dan sayur-mayur bisa ditemukan sepanjang musim di kampung itu. Biasanya sebelum mulai bercocok tanam, mereka melakukan musyawarah untuk menentukan jenis tanaman apa dan petak sawah siapa yang akan mendapat giliran. Para petani kampung ini sepertinya cukup menghargai kerja tim, sehingga mereka benar-benar serius merencanakan segala sesuatu terkait pekerjaannya. Jadi, dari perencanaan, penyiapan bahan, panen sampai penjualan hasil, mereka telah membuat rincian yang lengkap.
Karena rutinitas yang sudah mulai dilakukan kembali, pak Hayyi hampir lupa dengan salah satu kewajiban yang harus dilakukan untuk bayi Hayyun.
“Astaga, saya lupa. Saya harus melakukan pemutakhiran data kependudukan,” ucapnya dalam hati ketika berjalan pulang di sore hari menjelang magrib itu.
“Besok saja lah, kalaupun saya benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaan, apa saya harus maen titip-titipan seperti warga yang lain.” ucapnya lagi.
Sesampai di rumah, pak Hayyi memanggil Kartiye, putra sulungnya.
“Kartiye,” panggilnya dengan nada lembut.
“Tyang (saya) bapak,” jawab Kartiye.
“Adikmu, Hayyun, belum masuk di datar Kartu Keluarga. Jadi datanya harus diperbarui.,” ucap pak Hayyi menjelaskan.
“Jadi harus lapor ke Desa dulu trus ke Kecamatan baru ke Kabupaten, di kantor Kependudukan, atau Catatan Sipil mungkin namanya,” sambungnya menjelaskan, sambil mengingat-ingat nama instansi yang yang dimaksud.
“Tapi, kalau mau gampang, bisa saja titip di petugas desa itu. Nanti tinggal tunggu jadi dari rumah. Cuma ada bayaran, yaaah, uang transpot (maksudnya; transport) kata orang-orang,” ucapnya lagi.
Kartiye yang memiliki umur belasan tahun diatas adiknya sepertinya kurang tertarik melakukan urusan-urusan tersebut, namun wajahnya datar saja. Kartiye memperhatikan setiap penjelasan bapaknya, tanpa berkomentar sedikitpun. Entah apa yang dia fikirkan. Melihat gelagat putra sulungnya yang datar, pak Hayyi berkesimpulan bahwa putranya memang tidak berniat ambil bagian dalam proses yang cukup panjang, lama dan tentu menyita waktu bermainnya, mungkin dua sampai tiga hari.
“Bapak sekarang agak sibuk, mungkin sebaiknya terpaksa kita titip saja ya,” ucap pak Hayyi mencoba meyakinkan diri atas raut wajah putranya.
Mendengar itu, “ya, bapak, sebaiknya dititip saja. Saya denger sih banyak calo-calo kalua urus-urus kayak begini. Jadi bapak-bapak yang ada di Desa mungkin lebih tahu prosedur, sehingga ndk lewat calo.” Ucap Kartiye mencoba berpendapat.
“Padahal, petugas yang akan kita titipi ini juga calo,” ucap pak Hayyi dalam hati sambal menghela nafas karena dugaannya tepat tanpa melenceng.
“Baiklah, besok bapak coba cari pak petugas itu,” ucap pak Hayyi menutup pembicaraan.
Keesokan harinya, setelah menyambangi wakaf dan sawahnya, pak Hayyi membuat persiapan apa saja dokumen yang harus dia bawa, agar tidak bolak-balik hanya karena ada salah satu dokumen terlupa. Jarak rumah pak Hayyi dengan Kantor Desa cukup jauh, dua jam dengan berjalan kaki. Agar tidak kesiangan, setelah sarapan seadanya dan menghabiskan segelas kopi, pak Hayyi berangkat menuju kantor desa.
Sesampainya di sana, meskipun matahari sudah beranjak naik cukup tinggi menandakan waktu sudah melewati jam 9 pagi, tetapi kantor masih terlihat lengang, tak terlihat petugas mondar mandir. Pak Hayyi langsung menuju bagian informasi untuk mencari tahu tentang prosedur dan syarat-syarat yang dibutuhkan.
“Selamat pagi pak, saya mau bertanya,” ucap pak Hayyi sopan.
“eeh pak Hayyi, ada perlu apa? Apa yang bisa saya bantu?” jawab petugas yang sedang merokok sambil memegang gelas kopi di tangan kanan dan sebuah koran lusuh di kirinya.
“Saya mau ubah KK, anak saya yang ke-dua belum masuk daftar,” ucap pak Hayyi menjelaskan.
“Sekalian mau buat Akta Kelahirannya,” sambung pak Hayyi.
“Hmmmm, bapak sudah bawa persyaratannya?” tanya petugas.
“Apa saja persyaratannya, pak?” tanya pak Hayyi.
Kemudian petugas itu mulai menjelaskan apa saja persyaratan yang dibutuhkan, lengkap dengan prosedur pengajuan, alur pengajuan, kemana saja harus meyerahkan dokumennya secara berjenjang hingga sampai ke Dukcapil di Kabupaten. Pak Hayyi memperhatikan tanpa ada informasi yang tercecer, persis seperti informasi yang didengar dari salah seorang tetangganya dan yang dia jelaskan kepada putra sulungnya, Kartiye. Bagi pak Hayyi, tentu ini kali pertamanya dia harus menjalani urusan sepanjang itu, karena waktu putra pertamanya dulu, ada program pendataan secara kolektif dari pihak desa.
“Yaaah, satu bulan, kurang lebih total waktu yang dihabiskan,” ucap petugas menutup penjelasannya.
“Ya, itu kalau mau dikerjakan sendiri. Tapi biar ndk perlu lelah dan repot, saya bisa bantu,” ucap petugas itu sedikit berbisik.
“Saya ada kenal beberapa orang di Dukcapil, semoga bisa dibantu untuk dipercepat. Kalau bukan pak Hayyi, saya ndk sempat, apalagi disini pekerjaan numpuk,” ucap petugas itu meyakinkan pak Hayyi.
“Kalau bapak berkenan, saya perlu biaya untuk urusan ini,” sambil menunjukkan sejumlah nilai uang yang ditulisnya diatas koran lusuh yang berada ditangan kirinya.
Pak Hayyi yang merasa memang butuh bantuan, meski sedikit ragu, karena jumlah itu cukup besar, terpaksa menyetujui semua persyaratan yang diberikan. Setelah semua dirasa cukup dan kesepakatan telah diambil, pak Hayyi meninggalkan petugas tersebut yang sumringah setelah menerima sejumlah uang yang diminta dengan tambahan uang terimakasih yang secara sukarela diserahkan pak Hayyi.
Dua minggu yang dijanjikan telah berlalu, tetapi petugas yang ditunggu belum tampak juga. Ternyata kesepakatan pada waktu itu, pak Hayyi dijanjikan dua minggu, segala sesuatu beres tinggal terima di rumah. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya pak Hayyi berencana mencari petugas itu kembali di kantor esok hari. Keesokan harinya, ketika matahari baru saja merekahkan diri dengan cahaya yang menghangatkan, pak Hayyi berangkat menuju kantor desa. Sesampainya disana, kantor yang memang sudah biasa sepi itu masih terlihat mati tanpa aktivitas. Beruntung pak Hayyi tidak perlu lelah mencari petugas yang dimaksud. Melihat pak Hayyi datang,
“Eeee, Bapak Hayyi,” ucapnya menyapa dengan raut wajah gusar yang berusaha disembunyikannya.
“Udah lebih dua minggu,” ucap pak Hayyi singkat.
“Maaf, bapak. Temen saya di kantor itu sedang ada kegiatan perbaikan data. Susah sekali dihubungi, tapi saya sudah berkomunikasi dengannya. Semoga hari ini, dokumen bapak sudah bisa diantarkan,” ucapnya mencoba menghibur.
“Bapak jangan repot-repot datang kesini, perjalanan kesini kan cukup jauh,” sambungnya.
Merasa percuma saja berdebat, dan tidak ada orang lain yang dapat dimintai bantuan lagi, akhirnya pak Hayyi pulang dengan tangan hampa. Petugas tersebut terlihat lega setelah pak Hayyi jauh meninggalkan kantor.
Genap sebulan dari pertama kali dijanjikan, pak Hayyi yang sudah tidak peduli dengan apa yang dijanjikan, akhirnya kedatangan seorang tamu. Waktu itu sudah masuk waktu maghrib, suasana sedikit remang karena hanya disinari lampu templek dibeberapa sudut ruangan. Laki-laki yang terlihat buru-buru itu segera menemui pak Hayyi yang kebetulan sedang duduk diteras rumah dengan sebuah lampu templek tergantung.
“Assalammu’alaikum, selamat malam, ada bapak Hayyi?” ucapnya meyakinkan diri.
“Wa’alaikumussalam, iyya, silahkan duduk,” jawab pak Hayyi sopan sambil mempersilahkan tamu yang tidak dikenalnya.
“Saya disuruh antar ini sama paman saya, katanya untuk bapak Hayyi,” sambil menyodorkan sebuah map kertas lusuh berisi dokumen; Kartu Keluarga, Akta Kelahiran.
“Owh sudah jadi, berarti memang sebulan waktu yang harus dihabiskan,” ucap pak Hayyi datar, sambil melihat kedua dokumen itu sekilas, karena hanya remang cahaya menerangi dan juga pengelihatan pak Hayyi yang sudah mulai kabur dimakan usia.
“Kalau begitu saya pamit,” ucap laki-laki itu mohon diri.
“yaook, ayo duduk dulu, ngopi dulu,” ajak pak Hayyi.
“Terima kasih pak, saya pamit aja, sudah malam. Lain kali saya mampir ngopi,” ucapnya sambil berlalu.
Pak Hayyi masih berdiri dengan kertas di tangan. Kembali dia perhatikan tulisan diatas kedua kertas tersebut. Samar-samar terlihat, semakin berusaha dia memperhatikan semakin kabur pandangannya. Akhirnya dia memasukkan kertas itu kedalam map lalu menyimpannya.
Keesokan harinya, ketika ngopi sambil menyantap ubi rebus. “Kartiye, coba ambilkan bapak map diatas gerobak itu,” pinta pak Hayyi kepada putra sulungnya.
Tak lama kemudian, Kartiye datang sambil membawa map yang diminta bapaknya. “Niki (ini) Bapak,” ucap Kartiye kemudian berlalu tanpa ada rasa penasaran dengan dokumen yang diminta bapaknya.
Pak Hayyi yang cukup tenang menyantap ubi, membaca lembar KK sambil memeriksa tanggal kelahiran, alamat dan sebagainya. Setelah itu, dia mengambil lembar Akta Kelahiran, tiba-tiba dia tersedak, lalu berusaha menahan nafas dan menenangkan diri. Setelah cukup tenang dia mulai membaca Akta Kelahiran itu kembali dengan seksama, kemudian mencocokkan dengan lembar KK.
Dalam dua lembar dokumen itu tertulis KAYYUN bukan HAYYUN. Sejak saat itu, beberapa kali pak Hayyi mencoba mencari petugas desa itu, tapi petugas tersebut tidak pernah ditemukan. Kabarnya dia terlibat penyalah-gunaan wewenang dalam pengadaan blangko KTP.
“Ya sudah lah, dalam hatiku kamu tetap hidup dengan nama Hayyun, anakku. Lagi pula ini mungkin cuma SALAH KETIK, maafkan saja.” ucap pak Hayyi lirih. ANANG SAFI’UDDIN