Andy Tielman dan Pak Selamet

Pengantar Redaksi
Artikel Hari Puspita ini sudah terbit empat belas tahun silam dalam blog pribadinya, namun dia masih segar untuk disimak dan diperbincangkan. Pipit, panggilan Hari Puspita sudah menyunting beberapa bagian dari tulisannya untuk kita pembaca jurnalif.com. Selamat menikmati.
 

LEPAS dari segala plus minus-nya, perhelatan Jakarta Rock Parade, selama tiga hari, 11,12,13 Juli 2008, di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta, yang menampilkan tak kurang dari 100 band rock, telah meninggalkan kesan tersendiri (ini tulisan saya tahun 2008 lalu).

Karena di situ hadir “Pak Tua” Andy Tielman, pentolan The Tielman Brothers, musisi asal Kupang, NTT, kelahiran Makassar, 30 Mei 1936, yang hijrah ke negeri Belanda dan bandnya disebut-sebut memengaruhi (setidaknya) George Harrison (dan diakui dalam sebuah wawancara di majalah Rolling Stone Amerika Serikat, dan menyebut “Andy : The Indo Man” sebagai musisi yang memengaruhinya) , saat tampil di Hamburg, Jerman, sepanjang rentang akhir 1950-an, hingga awal 1960-an.

Rasa penasaran pun mencuat. Selain cari di majalah Rolling Stone edisi Indonesia, di dunia maya lelaki yang masa kanak-kanaknya di Surabaya dan begitu bangga sebagai “Arek Suroboyo”, ini ternyata jadi bahasan di sejumlah blog (sekitar tahun 2008).

Biasa, selalu ada pro dan kontra, untuk ulasan Tielman bersaudara yang disebut-sebut mengilhami The Beatles dan beratraksi begitu atraktif. Tak kalah dengan biang rockabilly Straycats, lengkap dengan standing bas alias bas betot itu.

Yang mengharukan adalah adanya sejumlah komentar : “Saya bangga jadi Orang Indonesia, sejak membaca Tielman Brothers”.

Maklum, Tielman Brothers disebut-sebut atraksinya tak kalah dengan Jimi Hendrix, Ritchie Blackmore atau gaya panggung The Who (seperti bisa dilihat di video ini : https://www.youtube.com/watch?v=muKkVufgkAE ).

Tapi sebagian lagi, yang merasa “anak cucu” kuartet asal Liverpool, The Beatles, dengan sinis ngakak.”Mimpi kali yee, mengklaim orang Melayu mempelopori rock n roll”.

Sah-sah saja semua berkomentar . Mau bilang “Tai kucing” atau “Tai asu” juga haknya. Yang jelas kantor berita AP pun korespondennya, Robin Mc. Dowell menyebut “Indonesia Menemukan Kembali Leganda Rocknya”, tulisnya, Indonesia Rediscovers It’s Own Rock Legend. Entah itu sekadar basa-basi atau tidak, ada fakta semacam itu.

Yang jelas, secara pribadi saya tercenung. Mantan warga Kupang, NTT (meninggal pada Kamis, 10 November 2011, di Belanda, karena mengidap penyakit kanker lambung sejak tahun 2009 silam. Selengkapnya silakan buka : https://student-activity.binus.ac.id/…/fakta-tentang…/ ) , yang masih fasih berbahasa Jawa Suroboyoan ini tetap santun.

Meskipun sempat ditulis majalah Rolling Stone edisi 1970-an, perihal pengakuan kagum George Harrison, tapi dia tetap menghindari potensi narcis. “Wong Jowo gak oleh sok-sokan” begitu kutip Rolling Stone Indonesia, edisi Juli 2008, dalam sebuah wawancara.

Ah, saya jadi teringat guyonan kita, sebagai orang republik, yang untuk beberapa gelintir orang suka menertawakan diri sendiri. Seperti misalnya bikin anekdot bahwa yang pertama kali datang ke bulan bukanlah orang Amerika sendiri. Tapi bersama orang Indonesia, Pak Selamet, namanya. Buktinya, di koran-koran judulnya :”Neil Amstrong mendarat di bulan dengan Selamat”.

Atau guyonan tentang pemain bola asal Bali, yang merumput di Inggris. Bahkan masuk tim inti skuad timnas Negeri Ratu Elyzabeth. Namanya I Wayan Rooney. Juga pelatih bola kesohor, asal Jombang, yang anak seorang kiai NU. Sekarang menangani timnas Russia. Namanya Guus Hinddink. Masih saudaraan sama Gus Dur, Gus Solah, Gus Im dan lain-lain.

Lumayan, joke yang selalu saja banyak terceletuk, saat ngumpul, dengan keadaan yang memungkinkan untuk dilontarkan. Tapi, di satu sisi sedih juga. Kita, yang secara tidak sadar terwarisi mentalitas inlander, kok jadi begitu gampang untuk tidak percaya diri. Meski bisa sehat secara psikologis, dengan menertawakan diri sendiri.

Tapi, kalau melihat tayangan di YouTube, tentang cuplikan gaya panggung The Tielman Brothers tahun 1960, dari TV Jerman, rasanya memang kita perlu bangga pada Tielman bersaudara asal Nusa Tenggara Timur itu (tentu bersama saudara Tielman yang lain, personel yang lain, seperti Reggy Tielman – gitar, banjo, vokal, Ponthon Tielman – kontrabass, gitar, vokal,Loulou (Herman Lawrence) Tielman – drum, vokal, Jane (Janette Loraine) Tielman – vokal, Fauzi (Firdaus Fauzi) Tielman – organ) .

Apanya yang membuat kita minder, tidak percaya diri bahwa ada orang Indonesia yang memelopori rock n roll, kalau ratu Belanda saja sudah mengakui bahwa Andy Tielman dan adik-adiknya adalah pelopor di negeri Belanda?

Kalau saja negeri ini pemilik Reuters, AP, AFP, MTV, majalah Rolling Stone, tentu The Tielman Brothers sejajar dengan Buddy Holy, Chuck Berry. Andy Tielman dengan gitar 10 senarnya layak untuk diapresiasi sebagai kejeniusan orang Nusantara.

Manusia Indonesia yang sempat diundang Bung karno tampil di istana (tahun 1949, bersama kelompok musik The Timor Rhythm Brothers, membawakan music tradisional NTT, sasando).

Bukankah sejarah memang milik orang kaya (negara-negara besar/kapitalis) ? Sehingga orisinalitas mereka susah atau tidak mendapat tempat untuk diapresiasi secara fair?

Seorang musisi sekelas Little Richard, yang negro, berkulit gelap, dalam suatu kesempatan setelah masa senjanya diwawancarai MTV sempat nyeletuk dengan kalimat satire, menyengat, menyedihkan, penuh kadar canda, tapi faktual.

Ini terkait dengan kalah ngetopnya dia dibandingkan dengan Elvis Presley, yang bule.”Kesalahan terbesar saya sebagai musisi adalah karena saya terlahir sebagai seorang negro,” akunya. Dan joke ini disambut tawa gegap gempita yang menontonnya.

Dan, begitu The Tielman Brothers banyak diapresiasi, Andy Tielman yang sudah kakek-kakek uzur masih lincah beraksi, sebagian mental inlander itu masih saja sulit menalar dengan akal jernih, bahwa ini bukan cerita Pak Selamet yang mendarat ke bulan bersama Neil Amstrong.

Tapi, ini adalah cerita yang sebenarnya. Ini hal yang bukan tidak mungkin. Kalau kita punya kesempatan dan bisa mengikuti pola disiplin mereka, macam yang dilakukan bule itu kita bisa, kok. Kasihan juga mereka yang punya nama Selamet, terus terusan jadi olokan sikap inlander genetik kita. “Tabik, mbah Tielman! Keep on rockin!” [*]

Oleh : Hari Puspita

*Tulisan ini sebelumnya sudah tayang di blog saya, “Ruang Spirit” yang lupa passwords-nya sampai sekarang, hehehe. Diunggah 30 Agustus 2008 silam, dengan beberapa penyuntingan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *