Pengantar Redaksi:
Artikel ini adalah pengantar diskusi FORUM BERAYAN: Pisang Goreng, Cinta, dan Sisa-sisa Kepercayaan Publik pada Media (AJI Mataram, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, dan jurnalif.com). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi pers mahasiswa MEDIA Unram beberapa waktu lalu, dengan sedikit perubahan
___________________
AHMAD SIRULHAQ
Lepas dari terjangkau dan tidaknya tema yang diberikan oleh penyelenggara, ada beberapa persoalan dan pertanyaan yang serius terkait dengan tema diskusi kali ini, yang kalau saya tidak keliru mengartikan sebagai, kira-kira: di mana kita harus berdiri dalam menghadapi media mainstream (arus utama) saat ini? Kata “saat ini”, tentu bisa berarti sangat luas, tapi kata saat ini pun bisa dengan mudah dialamatkan pada konteks keindonesiaan hari ini.
Mula-mula saya tidak ingin menulis, apalagi terkait dengan isu media kekinian, tapi selalu ada alasan yang tidak bisa diduga mengapa dorongan untuk menulis terkadang datang mengganggu, seperti sebuah hantu dalam mimpi buruk. Lagi pula, adakah mimpi yang lebih mengganggu hari ini selain mimpi tentang media itu sendiri? Bagaimana dengan media arus utama? Apakah media arus utama masih pantas dijadikan kiblat untuk mencari kebenaran atas realitas kekinian pada saat lebih dari dua ratus juta penduduk menyandarkan harapannya pada mereka?
Pertanyaan ini terlihat sangat sepele tetapi memikul cukup banyak beban, untuk tidak menyebutnya sangat kompleks. Mengapa demikian? Pertama, rasa-rasanya bukan hanya forum diskusi ini yang tengah mempertanyakan ini hari ini, tapi juga seolah-olah menjadi pertanyaan kita bersama akhir-akhir ini.
Berikutnya, karena pertanyaan ini langsung menuju titik jantung persoalan kebangsaan di tahun-tahun politik yang tengah terjadi saat ini, baik sebelum dan sesudah pemilu. Yang terakhir, karena alasan-alasan yang lebih bersifat filosofis: media tidak akan pernah mampu menangkap realitas secara utuh, bahkan ketika dalam konteks ini kita coba mengesampingkan media-media pemburu pantat Search Engine Optimization (SEO).
Kita mulai dengan pertanyaan, apakah media masih bisa dipercaya saat ini?
Media arus utama boleh-boleh saja berjalan dengan kaki tegak lurus dan membusungkan dada di tengah-tengah arus disrupsi informasi ketika kambing hitam selalu disematkan kepada manusia-manusia polos yang dengan enteng mengikuti irama hatinya menulis begitu saja apa yang ada di dalam kepalanya, sedemikian rupa, sehingga kotoran dan isi tidak terlalu jelas bedanya. Tapi, pernahkah Kau mendengar sebuah cerita dari mantan editor-in-chief media Guardian, Alan Rusbridger, dalam tulisannya Who Broken the News? yang ditulis di laman Guardian.com (32/08/2018) ketika ia menceritakan tentang suatu masa dua dekade yang mengubah jurnalis untuk selamanya?
Sedikit saja menukil tulisan itu, saat itu, Maret 2003—tiga tahun sebelum peluncuran Twitter dan pembuatan feed berita Facebook, sebelum runtuhnya model ekonomi yang telah menopang jurnalisme selama satu abad. Pada saat itu, Alan Rusbridger masih merasa beruntung karena medianya masih dipercaya oleh 13-18 persen pembaca. Apa arti angka itu, setelah kurang lebih dua dekade kemudian? Kita tentu tidak begitu kesulitan menjawabnya.
Selain itu, dalam tulisan itu, Alan menceritakan pengalaman pribadinya dalam momen ketika ia menjadi pemateri di hadapan publik. Pada kesempatan itu, Alan mengaku untuk menghindari kontak mata dengan rekan-rekannya yang duduk di hadapannya, yang tabloidnya paling banyak laku dijual sekaligus paling tidak dipercaya.
Dalam kesempatan itu, Alan menyinggung bahwa kita bisa sampai pada suatu titik dalam samudera informasi yang terus bergolak. Ada berita yang benar, ada berita yang salah, ada berita yang palsu, tidak tersedia cukup berita yang bisa diandalkan. Mungkin, kata Alan, akan datang suatu saat di mana ada komunitas tanpa berita, atau tanpa berita yang bisa mereka percaya. Apakah di Indonesia, keresahan Alan itu menemukan relevansinya?
Jika kita menengok laporan Edelman Tust Barometer 2018, terlihat bahwa dari 28 negara yang disurvei, hanya enam negara yang memiliki tingkat kepercayaan terhadap media di atas 50 persen. Yang mengejutkan (atau mungkin juga menggembirakan), Indonesia masuk dalam urutan kedua yang di atas 50 persen tersebut.
Namun, di sini, terlihat ada anomali yang cukup mencolok: bagaimana bisa negara yang medianya dipercaya lebih dari 50 persen masyarakatnya bisa bertanya-tanya, di mana mereka bisa menemukan informasi yang cukup untuk dijadikan sandaran? Kejutan lain dari survei tersebut adalah Tiongkok menempati posisi pertama dalam hal tingkat kepercayaan publik paling tinggi terhadap media, mencapai 71%.
Posisi tersebut terlihat cukup fantastis, tapi dunia media juga merupakan dunia yang penuh dengan paradoks. Pernyataan ini cukup beralasan mengingat posisi Indeks Kemerdekaan Pers Tiongkok, sebagaiman dilaporkan Reporter Without Borders (RWB) pada tahun 2018 dan 2019 berada pada peringkat 176-177 (dalam situasi serius atau kritis) dari 180 negara, sementara posisi Indonesia berada pada 124 (dalam situasi yang sulit). Kita tahu RWB merupakan lembaga kredibel yang setiap tahun melakukan pemeringkatan terhadap Indeks Kemerdekaan Pers di dunia, selain pemeringkatan yang dilakukan oleh Freedom House, dan lembaga kredibel lainnya.
Dari sini kita bisa mendapat gambaran, bagaimana bisa Indeks Kemerdekaan Pers tidak berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan publik terhadap media? Apakah, dengan demikian, kita akan membuat hipotesis bahwa, pada negara-negara dengan indeks kemerdekaan persnya rendah, tingkat kepercayaan publik terhadap medianya tinggi? Sebaliknya, pada negara-negara dengan tingkat kemerdekaan persnya tinggi, tingkat kepercayaan publik terhadap medianya rendah? Atau bagaimana sebaiknya kita memformulasikan situasi ini? Gambaran lain yang bisa kita lihat dari keadaan ini adalah benang kusut media sudah terlihat bahkan sebelum kita mulai membicarakannya.
Bagaimana dengan situasi di Indonesia? Indeks kemerdekaan pers di Indonesia menempati posisi sedang dalam beberapa tahun terakhir survei yang dilakukan oleh Dewan Pers bekerjasama dengan perguruan tinggi hampir di setiap provinsi di Indonesia. Ini adalah paradoks lain dalam dunia media. Di dunia, peringkat Indonesia terus menerus berada pada posisi sulit atau zona merah dengan skor 37,40 (termasuk data 2021), sementara indeks yang dibuatnya sendiri menunjukkan posisi Indonesia berada pada situasi sedang, dengan grafik yang terus meningkat setiap tahun, dari skror sekitar 66 pada 2017 hingga skor 76 pada 2021.
Apakah dunia punya standar yang berbeda terhadap cita rasa kebebasan berekspresi (bermedia) dibanding kita? Butuh penelaahan lebih lanjut mengenai hal ini, ataukah metode kita yang belum tepat untuk memotret gambaran sebenarnya mengenai realitas media di Indonesia. Tetapi, beberapa kali, mengapa bisa posisi Indonesia bisa lebih rendah dengan Malaysia dan Timor Leste? Selalu ada pertanyaan lain yang muncul tentang survei-survei ini.
Sampai di sini kita terus saja mendapatkan kesulitan, apa sih sebenarnya yang terjadi? Karena itu, mari kita bahas tentang agenda setting, framing, dan ideologi. Serta bagaimana semua itu bekerja.
Sebenarnya, saya merasa bukanlah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi cukup dalam mengenai masalah ini. Pertama, karena setelah mahasiswa dunia saya tidak begitu banyak bersentuhan dengan dunia media walaupun saya mengajar mata kuliah Jurnalistik. Lepas dari itu, bidang ilmu yang saya geluti (analisis wacana), mau tidak mau membuat saya selalu memperhatikan bagaimana media mengemas dan menyampaikan pesan-pesannya kepada publik, melalui pilihan kata dan struktur kalimat yang digunakan.
Bukan hanya itu, berbekal ilmu bahasa, seperti sering dikatakan para linguis, linguis memiliki cara pandang tertentu dalam hal melihat dunia, dan pandangan ini, dalam redaksi yang berbeda, kompatibel dengan salah satu teori linguistik yang sudah berkembang sejak lama yang disebut dengan teori “determinisme” dan “relativisme” Whorf-Sapir.
Determinisme maksudnya, struktur suatu bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia. Relativisme maksudnya, perbedaan struktur bahasa searah dengan perbedaan kognitif nonbahasa. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia mengikuti pola struktur yang ada dalam bahasa, atau dalam bahasa kita bisa menemukan apa yang ada dalam kognisi manusia.
Dalam konteks ini, pada media arus utama, memang jarang sekali kita temukan berita-berita yang mengandung konten hoax. Tapi, pada saat yang sama, media arus utama bekerja menurut prinsip-prinsip apa yang dinamakan dengan agenda setting dan juga framing. Agenda setting (mengenai apa yang harus dan tidak harus diberitakan atau ditekankan) biasanya sudah dibahas dalam rapat redaksi atau semacamnya, sementara framing adalah bagaimana agenda setting itu kemudian dikemas dalam sebuah berita, dalam hal ini melalui pilihan kosakata dan struktur kebahasaan.
Jika dalam keseharian Anda jarang mendengar berita-berita terkait korupsi, hal itu bukan berarti bahwa tidak ada korupsi di tengah-tengah kita. Melainkan, hal ini karena media tidak membuat agenda setting terkait dengan berita-berita korupsi. Kadang, bisa jadi, pemilik media memang tidak sedang happy untuk mengangkat isu tersebut, atau sengaja menunda-nunda untuk tujuan-tujuan tertentu. Jika media lebih memilih sudut pandang tertentu dan kosa kata tertentu dalam menulis berita, berarti media itu tengah melakukan framing.
Maka, jangan terkejut kalau Kau pernah mendengar cerita kurang lebih tiga tahun lalu, ada orang penting di daerah ini yang “hilang” dalam arti sebenarnya, juga “hilang” dalam berita. Tidak ada agenda setting untuk itu. Jangan terkejut pula jika Anda tiba-tiba membaca laporan majalah TEMPO tentang dugaan korupsi suatu pejabat pemerintahan di daerah ini beberapa tahun lalu sementara kita melihat wartawan lokal setiap hari bergaul dengan pejabat yang bersangkutan, selama bertahun-tahun.
Terdapat berbagai macam kepentingan yang menyelimuti media arus utama yang memaksa mereka sepertinya lebih memilih untuk “survive” daripada mengedepankan hak publik untuk memperoleh informasi yang memang benar, berimbang, dan dibutuhkan. Di antara kepentingan-kepentingan itu, kekuatan ekonomi dan politik sepertinya bisa ditempatkan pada posisi pertama mengapa media berlaku demikian.
Apakah implikasi-implikasi dari kepentingan tersebut? Pemberitaan kadang menjadi berat sebelah. Akhirnya kita pun dengan mudah untuk bisa memetakan, dalam setiap kali kontestasi politik, kita dapat melihat dengan mudah media mana yang berpihak kepada siapa, media mana yang tidak berpihak kepada.
Kondisi ini membuat kita menjadi jemu, bahkan terkadang muak, media-media yang selama ini membusungkan dada, yang dipandang sebagai nabi terakhir penjaga kebenaran, penjaga demokrasi, malah menjadi media partisan, yang tidak henti-hentinya membombardir kita dengan berita-berita yang di-framing sedemikian rupa sesuai dengan selera atau ideologi pemiliknya.
Ideologi bersifat subtil, jarang sekali orang bisa menangkapnya. Pada saat yang sama, justru karena itu, para awak media, tidak tahu cara menyembunyikan ideologinya sehingga dapat dengan mudah ditebak. Terdapat perbedaan ideologi yang mencolok antara media-media yang menggunakan istilah gunman atau ‘orang bersenjata’ dengan media-media yang menggunakan teroris tatkala memberitakan penembakan di New Zealand. Orang-orang yang tidak terbiasa memperhatikan ini akan melihat setiap peristiwa yang disampaikan oleh media tanpa maksud dan tujuan.
Kebetulan, saya memperhatikan ini ketika orang-orang berdebat dengan pelarangan penyebaran aksi tersebut di media sosial. Pada saat itu saya melihat ada media yang langsung menggunakan istilah teroris untuk pelaku penembakan tersebut; ada juga media yang pada hari pertama peristiwa tersebut menggunakan istilah gunman, kemudian pada hari berikutnya menggunakan istilah teroris, mungkin media itu tidak enak merasa sendirian. Hal ini berlaku pada media-media internasional dan media-media yang ada di Indonesia. Apakah ini tampak sebagai suatu kebetulan?
Memang, ideologi yang tersembunyi di balik kosa kata relatif lebih mudah dikenali, namun tidak dengan ideologi yang bersembunyi di balik struktur kalimat. Orang tidak akan mudah mengidentifikasi mengapa media tertentu menggunakan kalimat “seorang anak di bawah umur tertembak pada aksi 22 Mei”. Hampir semua media menggunakan struktur pasif dengan awalan “ter-“ (tertembak) dalam memberitakan kasus ini, yang berarti ‘tidak sengaja’.
Lepas dari siapa pelaku penembakan itu, apakah memang ada orang seiseng itu tidak sengaja melepaskan tembakan yang menyebabkan nyawa bocah-bocah melayang? Satu dua media menggunakan afiks “di-“ (ditembak). Penggunaan kata ditembak tampak lebih berani walaupun dalam konstruksi pasif, tetap saja aktor penembakan selalu bisa “disembunyikan”.
Sampai di sini kita tidak melihat ada hoax dalam media arus utama tapi agenda setting, framing, dan ideologi, dalam media arus utama tersebut terus-menerus bergerak setiap saat dan silih berganti dalam tiap-tiap berita yang mereka tampilkan.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan yang paling mendasar bagi kita ialah, jika media arus utama sudah “terpapar” ideologi politik yang cukup parah, apakah kita masih perlu bergantung padanya? Pertanyaan ini kurang lebih juga menjadi pertanyaan komunitas yang menyelenggarakan diskusi ini. Apakah, dengan demikian, orang boleh bergantung pada hoax?
Rasa-rasanya kurang bijak untuk mempertentangkan framing yang dilakukan media arus utama dengan justifikasi atas hoax. Hoax adalah hoax, fakta adalah fakta. Tapi, kenyataan bahwa hoax salah satunya dipicu oleh kepercayaan publik yang rendah terhadap media arus utama, boleh jadi demikian adanya. Lantas, di antara keduanya mana yang paling berbahaya? Kedua pilihan ini adalah pilihan negatif, susah dan bahkan tidak bisa untuk diambil salah satunya.
Tapi jika Anda bertanya, mana yang lebih mudah dikenali dan ditangkal antara hoax dan framing media, tentu jawabannya sudah hampir pasti: hoax, untuk suatu alasan yang sangat sederhana: terlalu banyak informasi untuk terlalu sedikit sikap kritis. Lalu, kita bertanya lagi, mana yang lebih berbahaya sesuatu yang tersembunyi atau sesuatu yang nyata? Silakan Anda dijawab sendiri!
Kita sampai pada pertanyaan semula, bagaimana kita menyikapi berita-berita arus utama?
Saya tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Tapi, yang saya lakukan ialah, mengikuti setiap dinamika yang disampaikan oleh media, baik media arus utama atau new-media (sosial media). Pada saat yang sama, saya tidak lantas menelan semuanya mentah-mentah, terutama terkait berita politik. Kita harus mengunyahnya pelan-pelan, sembari membuang “duri” dan “batu” yang menempel di dalamnya.
Preferensi politik juga menentukan cara kita menerima pesan-pesan yang disampaikan dalam media. Sehingga, mungkin, cara lain yang bisa ditempuh oleh kita ialah dengan berdiri sedikit ke tengah dalam setiap kontestasi politik. Ke tengah tidak harus berarti menjadi apolitis. Dalam situasi politik hari ini, hal ini bukan tanpa risiko, karena berpotensi untuk dikutuk oleh dua golongan “orang paling benar” sekaligus: golongan “kelelawar” dan “amfibi”.
Ke tengah adalah selalu berada di depan atau di “jalanan” untuk setiap jenis kebijakan yang tidak pro-rakyat, kapan pun dan siapa pun pemimpinnya, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Ke tengah tidak harus membabi buta mengutuk pemerintah ataupun oposisi, karena baik pemerintah maupun oposisi tidak selalu salah dan tidak selalu benar. Siapa yang menjamin, kelompok-kelompok yang paling keras berteriak menentang pemerintah dan oposisi hari ini, kelak tidak akan menelan ludahnya kembali? Elite-elite partai politik telah mencontohkan ini dengan baik. Hanya perkara waktu.
Bagi mahasiswa, ke tengah juga akan memberikan mereka jalan pulang yang mudah dan juga indah. Jika suatu saat oposisi berkuasa, mereka tidak segera pulang ke kampus tapi tetap berdiri di “jalanan” tempat oroknya pertama kali ditanam dan diberi nama “agen perubahan” itu. Ke tengah dalam konteks media adalah tetap kritis dalam menerima konten-konten media partisan (baca: arus utama).
Tapi, sekali lagi, hal ini bukan tanpa risiko, sebab bahaya lain yang mengintai mereka yang berdiri di tengah ini ialah adanya kutukan yang jauh lebih sadis, sebagaimana yang dikatakan Dante, yang dikutip oleh Dan Brown dalam novel Inferno, bahwa “tempat tergelap di neraka memang telah disiapkan bagi orang-orang yang tetap bersikap netral di saat krisis moral tengah terjadi.”