Beasiswa itu Jangan Untuk Orang yang Pintar

Ahmad Junaidi
Dosen Universitas Mataram

Apa yang akan terjadi jika anak-anak dari daerah terpencil yang semasa kecilnya gizi buruk dan orang tuanya buta huruf diberikan kesempatan berada di lingkungan pendidikan yang efektif? Husni Muadz dan tim di SUMMIT Institute for Development pernah melakukan penelitian besar di Lombok. Kesimpulannya, faktor lingkungan lebih berpengaruh dari faktor biologis. Memang benar bahwa jika terlahir dari ibu dengan gizi dan nutrisi yang cukup selama kehamilan (dan di sini saya asumsikan lebih mampu), si anak akan memiliki keunggulan biologis dari segi kapasitas otaknya dibanding dengan yang nutrisinya kurang. Akan tetapi, perbedaan itu bisa menyepit dan hilang karena faktor lingkungan dan pengajaran lah yang akan lebih berpengaruh dibanding faktor lahir atau biologis (1).

Atau kita lihat dari contoh Operasi Solomon. Pada tahun 1991, lima belas ribu orang yang terdiri dari orang tua dan anak-anak diterbangkan dari Ethiopia ke Israel. Para orang tua dari negara Ethiopia yang miskin ini hanya pernah mengenyam pendidikan 1 atau 2 tahun saja. Di negara barunya yang lebih maju itu, anak-anak Ethiopia itu pun masuk sekolah, bercampur bersama anak-anak imigran asal Rusia, yang para orang tuanya rata-rata memiliki catatan pernah bersekolah selama 12 tahun. Ketika mereka lulus SMA, performa mereka diteliti. Hasilnya, tidak ada perbedaan signifikan pencapaian akademik anak yang orang tuanya kebanyakan buta huruf dengan anak yang orang tuanya pernah mengenyam pendidikan yang relatif tinggi (2). Artinya apa? Faktor lingkungan dan pengajaran lebih berpengaruh dari latar belakang keluarga.

Atau yang sering kita banggakan, Prof. Yohanes Surya. Beliau sering membawa anak-anak Papua ke lembaganya, memberikannya pengajaran yang efektif, lalu membawa mereka memenangkan penghargaan-penghargaan Matematika dan Fisika (3). Pada intinya, jika diberikan lingkungan yang tepat, anak-anak daerah tertinggal bisa mengejar ketertinggalannya untuk dapat memperbaiki taraf hidupnya memenuhi kebutuhan dasarnya.

Beasiswa sebagai Kesempatan: Kisah Ragil

Tiga studi di atas menunjukkan pentingnya menyediakan lingkungan belajar yang baik, terutama bagi mereka yang tidak mampu. Dan ini biasa dilakukan dengan beasiswa atau bantuan pendidikan. dr. Wahidin Sudirohusodo, si orang tua yang memanas-manasi bocah seperti Soetomo untuk membangun organisasi Budi Utomo itu, menjual empat delman dan belasan kudanya untuk modal keliling mencari beasiswa. Semua dilakukannya agar pemuda memiliki akses lebih untuk mengejar ketertinggalan.

“Ketertinggalan” juga menjadi hal yang lekat dengan kita di NTB, termasuk di pendidikan. Lihatlah semua hasil pengukuran baik dari literasi dasar sampai fungsional. Dari kecepatan membaca sampai pemahaman membaca informasi di internet. Kita tertinggal di semua angka ini.

Kita butuh solusi untuk mengatasi ketertinggalan ini. Salah satunya adalah dengan membuat inisiatif yang efektif dan terarah dan bersama-sama. Salah satunya adalah dengan pendistribusian kemakmuran melalui pemberian beasiswa tepat sasaran. Untuk itu saya ingin menyampaikan sebuah cerita tentang ini. Berikut ceritanya.

Suatu hari, seorang ayah menangis di telepon, meminta kami membantu anaknya, sebut saja namanya Ragil, untuk melanjutkan sekolah, karena dia tahu hanya dengan itu Ragil bisa mengembangkan bakatnya. Ragil memang luar biasa. Dalam usia muda sudah menamatkan beberapa buku yang tingkatannya tinggi. Dia juga punya bakat bagus di bidang IT. Sejak SMA sudah bisa cari mencari duit jajan dengan memberbaiki hardware/software di hape dan computer teman-temannya. Selain itu dia mengungkap bahwa dia punya tujuan mulia membantu rakyat dan bangsa Palestina dengan kemampuan ITnya nanti. Dia juga punya mimpi untuk bisa berkuliah di Jerman atau Rusia.

Potensinya besar, dan ayahnya benar. Ragil harus kuliah. Dan sebagai yang dihubungi, kami di yayasan memutuskan untuk membantunya sebisa kami lewat inisiatif kecil kami. Meski tahu akan banyak tantangan, Ragil akhirnya mampu masuk kampus bidang IT di Lombok. Kami tidak bisa menyediakan laptop, tidak bisa menyediakan motor. Hanya SPP, bayar kos, dan sedikit uang saku yang bisa orang tua dan kami bisa bantu.

Semester demi semester, satu tahun berlalu. Ragil masih bertahan meski tantangan untuk membayar berbagai pengeluaran selalu ada. Hampir saja semua pihak menyerah. Sempat ada pembicaraan bahwa Ragil sebaiknya berhenti kuliah. Lalu muncul sebuah informasi beasiswa untuk mahasiswa S1 dari Bank Indonesia. Ragil pun melamar dan kami membantu. Di hari wawancara, Ragil menghubungi kami, meminta dilatih wawancara. Dengan penuh harap kami berikan sedikit latihan.
Tibalah kemudian hari pengumuman, dan Ragil terpilih. Luruhlah semua kekhawatiran. Dia akan menyelesaikan kuliahnya! Kami merasakan kebahagiaan itu, berhasil mengantarkan dia dengan beasiswa kecil ke beasiswa lain yang lebih besar, yang akan membantunya menyelesaikan kuliah. Beasiswa itu akan membantu uang saku dan SPP.
Kami semua berbahagia. Orang tua, donatur, dan relawan-relawan beasiswa ini. Cukup mengantarkannya sampai satu tahun, dan dia mendapatkan bantuan untuk menyelesaikan pendidikannya.

Dari cerita ini, saya ingin menekankan bahwa mahasiswa dalam cerita ini adalah satu dari sekian banyak siswa yang tidak mendapatkan kesempatan lalu akhirnya mendapatkan kesempatan. Banyak sekali siswa penuh potensi yang ingin bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi atau ingin mendapatkan peningkatan skill kerja. Namun sayang sekali, kekayaan negara kita terkonsentrasi pada sekian kecil orang. Nah, ini yang harus kita dorong. Bagaimana kita mendistribusikan kemakmuran ini dengan cara yang tidak melanggar hak asasi mereka yang kemakmurannya berlebih? Tentu sudah banyak mekanisme yang dilakukan pemerintah seperti penggunaan uang pajak, dan lain-lain. LPDP dan beasiswa lain adalah contohnya. Kita butuh lebih banyak lagi bantuan dari skema semacam itu. Mereka banyak memberikan beasiswa pada mahasiswa dengan kriteria-kriteria tertentu.

Beasiswa untuk Siapa?

Kriteria ini memunculkan pertanyaan yang jarang ditanyakan. Apakah yang harus diberikan beasiswa atau bantuan adalah anak yang paling pintar? Seperti banyak beasiswa, kesan yang timbul adalah untuk mendapatkan beasiswa, seorang mahasiswa harus pintar. Tapi bukankah jika kita ingin membantu memeratakan penghidupan, siswa tertinggallah yang harus diberikan beasiswa? Kenapa kita malah memberikan beasiswa pada anak yang paling pintar dan meninggalkan yang ‘tertinggal’?

Di sinilah diperlukan pandangan dari lmu pendidikan tentang zona potensi belajar. Beasiswa harus diberikan bukan pada mereka yang pintar, tapi mereka yang memiliki potensi untuk berkembang dalam setting sekolah atau lembaga yang nanti akan membimbing mereka. Artinya, jika ada dua mahasiswa mengejar beasiswa S2, si A punya nilai TOEFL 550 dengan IPK 3,30 dengan ekonomi lemah dan si B ber TOEFL 620 dengan IPK 3,60 tapi ekonominya sudah mapan, saya akan lebih ingin melihat siswa A berangkat untuk beasiswa itu. Pertimbangan utama saya adalah si A lebih membutuhkan beasiswa itu untuk memperbaiki kehidupannya, dan dia memiliki potensi yang cukup untuk berhasil menyelesaikan studinya. Dan TOEFL 550 serta IPK 3,30 itu cukup untuk menyelesaikan S2 di luar negeri. Tidak perlu memberangkatkan yang skor 620 jika dia telah punya akses finansial yang bagus. Yang telah tinggi nilainya seperti ini telah memiliki bonus meritokrasi yang sudah cukup tinggi sehingga dapat menimbulkan kesenjangan yang lebih tinggi (4)

Dalam cerita di atas, Ragil tidak mendapatkan bantuan beasiswa karena dia yang paling pintar. Tapi karena dia lah yang membutuhkan bantuan itu dan dia punya potensi besar menyelesaikan pendidikannya di konteks yang ingin dia tuju dan ada potensi kepemimpinan untuk membawa kebaikan. Menggunakan kriteria paling pintar akan mengaburkan kriteria utama untuk memberi manfaat sebaik-baiknya.
Keharusan membantu yang tertinggal ini juga didukung data dari buku peraih Nobel, Poor Economics karangan Abhijit Banerjee dan Eshter Duflo (5) . Sistem pendidikan kita berkolusi dengan praktik lama yang salah dalam keluarga. Perhatian untuk pendidikan lebih besar diberikan pada anak yang lebih pintar. Anak yang tidak lebih pintar tidak didorong untuk mengejar pendidikan, tapi diminta bekerja fisik. Di ruang kelas, murid yang terbelakang semakin jauh terbelakang karena tak diberikan perhatian yang cukup untuk mengejar ketertinggalannya. Negara juga melakukan ini. Terlalu fokus pada daerah yang maju dan meninggalkan yang tertinggal. Muncullah jebakan kemiskinan yang sebenarnya kita bisa hindari.

Penutup

Sejauh ini ada dua ide yang telah muncul dalam artikel ini. Kemakmuran harus didistribusi pada yang tidak mampu, dan dalam menentukan siapa yang harus dibantu, seharusnya bukan atas dasar kepintaran tapi potensi berhasilnya dia mengangkat diri dan keluarganya dari standar hidup yang masih di bawah kemiskinan menuju kehidupan yang lebih baik.

Saya ingin kembali ke cerita lanjutan dari perjalanan Ragil.
Ternyata beasiswa BI itu bukan pil ajaib segala masalah. Masalah lain muncul karena ternyata beasiswa itu hanya menanggung separuh kebutuhan. Dan dengan semakin tinggi tuntutan kuliah, dia membutuhkan laptop. Selama ini dia selalu mengandalkan komputer kampus atau pinjam laptop di teman. Beasiswanya juga hanya cukup untuk SPP dan saku. Lalu kamipun ambil keputusan, membelikan laptop dengan mengetuk pintu donasi lebih jauh.

Tujuannya jelas. Dengan laptop itu dia akan bisa lebih banyak belajar dan bisa menyelesaikan kuliahnya. Benar saja. Pada hari dia mendapatkan laptop, dia langsung melesat tidak hanya belajar mandiri tentang mata kuliahnya, tapi juga membuatkan website untuk yayasan yang telah membantunya! Di sini kita melihat, dia tidak hanya belajar, dia juga telah bisa membantu orang lain. Tidak hanya ilmu kognisi, tapi juga ada aksi etis yang dilakukannya. Inilah yang dihasilkan oleh sebuah niatan kolektif pemberian beasiswa. Berikan pada yang punya potensi perubahan. Semampu kita melihatnya.
It takes a village to raise a child. Butuh kerjasama satu desa untuk membesarkan seorang anak. Pendidikan itu adalah tanggung jawab kita semua. Lihatlah sekeliling kita. Siapa yang berpontensi besar mengangkat ekonomi keluarganya? Siapa yang punya potensi membantu orang lain yang membutuhkan? Dari cerita Ragil kita belajar sungguh besar hal yang bisa dihasilkan oleh kesempatan dan bantuan pada pemelajar yang tepat sasaran. Yang lebih membutuhkan dan yang berpotensilah yang harus menjadi prioritas.

Pendidikan adalah alat perubahan kolektif. “Berikan ikan pada seseorang, maka orang itu hanya akan bisa makan sehari. Tapi berikan dia kail, dia akan menghidupi diri dan keluarganya sampai nanti”. Semoga menginspirasi aksi.

@junaydfloyd

Referensi
(1) Prado, E. L., Alcock, K. J., Muadz, H., Ullman, M. T., Shankar, A. H., & SUMMIT Study Group. (2012). Maternal multiple micronutrient supplements and child cognition: a randomized trial in Indonesia. Pediatrics, 130(3), e536-e546.
(2) Gould, E. D., Lavy, V., & Paserman, M. D. (2004). Immigrating to opportunity: Estimating the effect of school quality using a natural experiment on Ethiopians in Israel. The Quarterly Journal of Economics, 119(2), 489-526.
(3) Shanty, N. O., & Wijaya, S. (2012). Rectangular Array Model Supporting Students’ Spatial Structuring in Learning Multiplication. Indonesian Mathematical Society Journal on Mathematics Education, 3(2), 175-186.
(4) Sandel, M. J. (2020). The tyranny of merit: What’s become of the common good?. Penguin UK.
(5) Duflo, E., & Banerjee, A. (2011). Poor economics (Vol. 619). PublicAffairs.

2 comments

  1. Setelah saya membaca artikel ini, mata saya berkaca-kaca, seperti membaca kisah saya sendiri. Terimakasih. InsyaAllah saya akan melanjutkan S2 dengan beasiswa GKS, & akan apply beasiswa AAS tahun 2023. Good luck for me 🥰

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *