JURNALIF–Lombok Barat–Suara Tepuk tangan, keriuhan dan suasana ramai di rumah Abdul Said (47) menjadi pemandangan biasa, karena sejak 3 tahun rumah milik warga Dusun Murpadang, Gunungsari Kabupaten Lombok ini, disulap menjadi tempat belajar 64 siswa siswi Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 Bukit Tinggi di Dusun Murpadang Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat (NTB).
Setiap hari puluhan siswa memadati rumah Abdul untuk belajar. Mulai dari teras rumahnya, seluruh halaman depan rumah hingga berugak atau gazebo miliknya, menjadi arena belajar siswa kelas 1 hingga kelas 6 SDN 3 Bukit Tinggi, dan Abdul iklas membiarkan rumahnya dipenuhi anak anak memburu ilmu.
“Dulu awalnya siswa ini sekolah ini rumah Pak Budi. Karena guru tidak nyaman. Semasa Kepala Sekolah sebelumnya (Ibu Nunung) mereka disuruh pindah ke sini,” kata Abdul Said, Kamis (21/4/2022).
Bukan tanpa alasan Abdul merelakan sebagian areal tempat tinggalnya dan keluarga sebagai lokasi belajar darurat puluhan siswa sekolah dasar itu, Dia tak sanggup melihat anak-anak yang masih bersemangat sekolah bingung harus belajar di mana, setelah sekolah mereka SDN 3 Bukit Tinggi hancur akibat gempa tahun 2018 silam lalu.
Sekolah ini masuk dalam daftar sekolah rusak akibat gempa di Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan data Sekertariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) 539 sekolah rusak di NTB akibat gempa, 282 diantaranya adalah sekolah dasar.
Paska gempa, bangunan seluas 1.100 meter persegi itu, sempat dibangun ulang oleh Pemda Lombok Barat secara darurat. Peliknya banguan sekolah SDN 3 Bukit Tinggi kembali tertimpa masalah, lantaran Pembangunan Bendungan Meninting tahun 2019. Proyek akbar itu pun menggusur bangunan sekolah darurat mereka. Para siswa pun terpaksa belajar di rumah Abdul.
Baru baru ini jurnalif.com menyaksikan langsung siswa siswa sekolah tersebut bergantian mengangkat bangku sekolah mereka yang tersisa di sekolah ke rumah Abdul. Tiga siswa laki-laki mengangkat satu bangku sekolah dengan bantuan sebilah bambu yang mereka panggul perlahan dari sekolah darurat ke rumah Abdul yang berjarak sekitar 500 meter.
Kadangkala para siswa yang ujian sekolah harus menginap di rumah warga agar tidak terlambat, karena jalan menuju ke rumah Abdul tergolong ekstrim, jalanan licin dan berlumpur harus mereka lewati. Ketika jurnalif.com menuju bekas sekolah mereka yang hancur dan rumah Abdul, beberapa kali harus menghentikan perjalanan karena jalur yang menanjak dan licin, tidak jarang pengendara yang melewati lokasi ini terjatuh.
“Ayo semangat,” teriak Nizam Fahmi (11) Siswa kelas 4, berusaha menyemangati dua adik kelasnya Sidik (7) dan Aki (7) yang membantunya memikul bangku sekolah mereka menuju rumah Abdul, sekolah super darurat tempat mereka belajar. Meski Lelah karena berat, anak anak SDN 3 Bukit Tinggi ini tetap tersenyum, sesekali mereka asyik tertawa bercanda sambil mengangkat bangku sekolah.
Pemandangan itu makin miris ketika melihat para siswa harus belajar di teras dan gazebo milik Abdul, lokasi belajar seadanya dengan bermodal papan tulis dan bangku di halaman rumah. Namun seluruh siswa tetap menunjukkan niatan besar untuk tetap belajar bersama.
Bahkan kata Abdul, sejak tiga tahun terakhir, para siswa kelas 6 SDN menjalani Ujian Nasional Berbasis Komputer di gazebo hingga teras rumah miliknya hingga halaman rumah.
“Alhamdulillah anak-anak ini merasa antusias di sini. Walaupun saya tidak berpendidikan saya suka dengan dunia pendidikan,” kata Abdul.
Banyak yang beranggapan awalnya rumah Abdul disewakan untuk belajar para siswa SDN 3 Bukit Tinggi. Namun nyatanya, kemurahan hati Abdul merelakan pekarangan rumahnya disulap menjadi 3 ruang kelas darurat, diberikan secara sukarela.
Lahan milik Abdul hanya 420 meter persegi itu dibagi-bagi, setengahnya menjadi 3 ruang kelas darurat, ruang kelas beratapkan spandek dan berdinding balok beton anti gempa. saat tiga ruang kelas dipenuhi siswa, teras hingga ruang tamu turut di sulap jadi ruang belajar.
Lantara areal rumahnya menjelma sekolah darurat, Abdul dan istrinya Aisah selalu berjaga, memantau aktivitas puluhan siswa, karena khawatir anak anak bermain ke arah jurang.
“Saya takut tinggal di sini, tapi saya senang. Makanya kalau siswa main ke sana kemari. saya tetap pantau, takutnya kan mereka main ke jurang,” kata Adbul.
Topografi rumah Abdul memang rawan terjadi longsor. Dia membangun rumah barunya itu di lahan seluas 420 meter persegi tepat di atas perbukitan Dusun Murpadang. Awalnya pekarangan rumah Abdul tergusur proyek Bendungan Meninting. Uang hasil jual beli lahan digunakannya membangun rumah baru di ujung Dusun Murpadang.
Kontruksi rumah Abdul pun sempat dilakukan penimbunan material tanah. Dia memasang pondasi selebar 4 meter dengan memasang balok beton sebanyak 4 cakar. Namun karena topografi kemiringan lahan pekarangan, rumah itu pun dikhawatirkan bisa saja retak ketika gempa datang.
Hancur Oleh Gempa, Tergusur Demi Bendungan
“Walau belajar di rumah warga, tapi semangat belajar para siswa kami tidak pernah surut,” kata Sarui, Kepala SDN 3 Bukit Tinggi, Rabu (20/4/2022). Hari itu jurnalis media ini ditantang sang Kepala Sekolah, untuk menjajal jalanan sulit dan terjal menuju SDN 3 Bukit Tinggi. Harus mengunakan motor masing masing ke lokasi ini, karena akan sangat sulit jika berboncengan, kemungkinan terpeleset bisa terjadi.
Hampir empat tahun lamanya mereka belajar di halaman rumah Abdul. Bahkan, sejak proses perpindahan bangunan sekolah, para guru yang mengajar, harus ngantor ke rumah Abdul.
Sariu menuturkan, bangunan sekolah di Desa Bukit Tinggi sempat dibangun ulang akhir 2018. Belakangan bangunan sekolah itu pun kembali dibongkar karena terkena dampak pembangunan Proyek Nasional Bendungan Meninting, yang rencananya akan menyuplai kebutuhan air Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Nahasnya, setelah ada pembangunan Bendungan Meninting, kelengkapan bangunan sekolah, seperti papan, spandek, kursi, triplek dan meja itu dipindah ke rumah Abdul untuk melengkapi fasilitas belajar siswa secara sukarela.
Tak jarang pemilik rumah juga kerap menjemput para siswa dari sungai Meninting. Pilunya, pemilik rumah kata Sariu, ikut membantu proses perpindahan peralatan sekolah ke pekarangan rumahnya.
“Pak Abdul itu ikut mengangkut bangku, papan tulis hingga mengantarkan soal ujian ke rumah para siswa di Dusun Murpeji ketika air sungai Meninting meluap,” ungkap Sariu.
Sariu mengatakan sekolahnya dua kali menghadapi musibah, pertama hancur karena gempa 7,0 skala richter, kedua tergusur oleh pembangunan Bendungan Meninting. Hingga kini kata Sariu, sekolah belum juga dibangun kembali oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat.
“Tapi alhamdulillah sudah ada lahan yang akan jadi lokasi bangunan sekolah sekitar 500 meter dari rumah Abdul setelah melalui beberapa proses pembayaran lahan,” ujar Sariu.
Sariu menambahkan, bahwa proses belajar di SDN 3 Bukit Tinggi tersebar di tiga lokasi, “Daerah ini kan terpisahkan oleh bendungan dan perbukitan serta sungai. Ada dua lokasi ruang belajar di Murpadang dan satu di Dusun Murpeji, yang di Murpeji hanya digunakan jika air sungai naik atau karena hujan deras,” katanya.
Yang membuat Sariu tetap bersemangat mengajar di SDN Bukit Tinggi, karena semangat siswanya yang tak pernah kalah oleh keadaan. Sungai yang meluap, ancaman longsor, kerap terjatuh karena licin, sama sekali tidak membuat anak didiknya berkurang mengikuti proses belajar mengajar, selalu memadati rumah Abdul dan Aisah istrinya yang merelakan lahan mereka diriuhkan anak-anak.
Butuh Kurikulum Mitigasi Bencana
Melihat Topografi Dusun Murpadang Desa Bukit Tinggi Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat, Sarui berharap ada perhatian khusus, karena rawan tertimpa longsor, banjir hingga tanah bergerak karena gempa bumi yang datang sewaktu-waktu di lokasi tempat sekolahnya berdiri.
Menurut Sariu selama menjadi kepala di SDN 3 Bukit Tinggi Desa Bukit Tinggi sejak tahun 2020, ia belum pernah mendapat informasi adanya wacana pemberian materi kurikulum kebencanaan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Barat maupun Provinsi NTB.
Alih-alih berbicara kurikulum kebencanaan kepada para siswa kata Sariu, ruang belajar siswa saja tak kunjung diperhatikan pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Lombok Barat.
“Belum ada kurikulum kebencanaan, belum disosialisasikan. Padahal kami sangat butuh,” ujar Sariu.
Sejak 2018 silam, hampir sebagian rumah warga di Dusun Murpadang rusak parah akibat gempa 7,0 Skala Richter yang melanda Lombok.
“Kalau memang kurikulum kebencanaan ada, kami sangat membutuhkan sebagai sebuah pedoman seluruh warga sekolah dalam menghadapi bencana yang sewaktu waktu bisa terjadi. Apalagi kami dekat dengan proyek (pembangunann Bendungan Meninting),” keluhnya.
Sariu mengatakan, dari 9 guru yang aktif mengajar, juga tidak pernah dibekali adanya wacana kurikulum mitigasi bencana.
Menanggapi soal wacana kurikulum kebencanaan itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB Dr. H. Aidy Furqan menjelaskan bahwa pihaknya belum memiliki kurikulum kebencanaan khusus di lingkungan sekolah di NTB.
“Kami belum punya. Itu kewenangan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah memberikan mitigasi,” ujar Furqan.
Selama ini, Dinas Pendidika NTB belum memikirkan proses kajian perancangan kurikulum kebencanaan untuk diterapkan di lingkungan sekolah. Dia pun memastikan bahwa kurikulum kebencanaan di lingkungan sekolah belum bisa diterapkan pihak dinas. Bangunan Sekolah Di Lobar Belum Ramah Bencana.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lombok Barat, Hartono Ahmad mengatakan bencana gempa Lombok telah merusak sedikitnya 16 bangunan sekolah. Baik untuk SD dan SMP hingga SMA di Kebupaten Lombok Barat.
Dari 16 sekolah yang rusak akibat gempa bumi kata Hartono 11 sekolah sudah rampung dibangun pada tahun 2020. Sisanya dibangun akhir tahun 2021 lalu. Kebanyakan sekolah yang alami kerusakan di Lombok Barat terletak di wilayah empat kecamatan di Lombok Barat. Seperti Kecamatan Batulayar, Narmada, Gunungsari dan Lingsar.
“Kita tahu Lombok Barat kan berada di zona bencana pasca Gempa Bumi yang melanda pulau Lombok pada tanggal 5 Agustus 2018. Rasanya sulit keluar dari zona bencana,” kata Hartono, Kamis 3 Maret 2022.
Dia berpendapat juga, belum ada satu sekolah pun di Lombok Barat ramah dengan mitigasi kebencanaan. Jika melihat bangunan sekolah di Lombok Barat memang rata-rata telah menggunakan beton dan cakar pasca gempa tahun 2018.
Hampir merata kata Hartono, beberapa kaidah dalam mitigasi kebencanaan di lingkungan sekolah belum dimiliki oleh semua sekolah di Lombok Barat.
“Misalnya, yang sederhana saja, pintu sekolah itu harusnya dibuka keluar bukan ditarik ke dalam. Ini biasanya memudahkan proses evakuasi kan,” ujarnya.
Selain itu ujar Hartono, hal yang perlu disiapkan pihak sekolah, baik guru dan siswa ialah menyiapkan diri mengahadapi bencana yang datang secara tiba-tiba. Biasanya sekolah menyiapkan lokasi evakuasi di area sekolah atau lokasi berkumpul. “Ini yang paling dasar,” cetusnya.
Gempa Bumi tahun 2018 silam kata Hartono masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah di Kabupaten Lombok Barat. Terutama dalam menyiapkan pola menghadapi gempa khususnya di ruang pendidikan.
Dalam catatan BPBD Lombok Barat, ada 16 sekolah alami kerusakan, 6 di antaranya rusak berat dan sisanya mengalami rusak sedang hingga rusak ringan. Ironinya, masih ada sekolah yang dibangun dibawah standar bangunan anti gempa.
(Ahmad Viqi Wahyu Rizki)