Menjaga Lumbung Tanah Lombok

Jurnalif – Praya – Bangunan itu tampak asing di tengah kepungan rumah-rumah penduduk di Dusun Ketangge, Desa Batujai, Lombok Tengah. Empat tiang bundar berdiameter sekitar 25 sentimeter masih kokoh menyangga sebuah ruang berdinding anyaman pagar bambu . Dari warna kayunya, usia bangunan itu sudah tak lagi muda.

“Ini satu-satunya alang yang masih tersisa di dusun ini. Yang lain sudah rusak,” ujar Hajjah Hikmah, 65 tahun, warga Batujai, Minggu, 14 Mei 2017. Alang yang dimaksud Hikmah adalah lumbung tradisional yang berdiri di depan rumahnya. Dari 231 kepala Keluaga di Dusun Ketangga, hanya Hikmah seorang yang masih memiliki lumbung tradisional. Kalaupun ada warga lain yang memiliki, fungsinya sudah berubah, tak lagi sebagai tempat penyimpanan padi.

Hikmah tak tahu persis, kapan lumbung itu dibangun. “Alang itu hadiah pernikahan kami dari orang tua. Dulu atapnya adalah ilalang, tapi diganti seng karena ilalang sudah sulit didapat,” ujarnya. Karena nilai sejarah itulah Hikmah mempertahankan lumbung miliknya. Dari lumbung itu, dia dan almarhum suaminya, Haji Akmal menghidupi dan menyekolahkan lima orang anaknya hingga perguruan tinggi.

Bangunan lumbung terdiri dari dua bagian. Bagian bawah terdapat lelasah, semacam para-para yang digunakan untuk menenun atau menerima tetamu. Bagian atasnya, ruang penampungan berdinding bambu, beratap ilalang. Untuk menyangga bangunan atas, digunakan empat tiang bundar. Di ujung atas tiang itu terdapat jelepeng—benda yang menyerupai piring besar. Jelepeng inilah yang membuat tikus tak akan sanggup menjangkau padi dalam ruang penampungan.

Pada mulanya, hasil panen yang disimpan dalam lumbung adalah ikatan-ikatan padi. Ikatan-ikatan itu digantung pada bilah-bilah bambu yang disusun sedemikian rupa sesuai fungsinya. “Tidak semua padi dalam alang bisa dimakan. Harus ada yang disisakan untuk cadangan, termasuk untuk bibit.” Kata Hikmah.

Seiring perubahan teknologi pola tanam padi, kini yang disimpan dalam lumbung bukan lagi ikatan-ikatan padi, melainkan gabah yang dikarungkan. Menurut Hikmah, kerepotan untuk mengangkut karung-karung padi ke atas lumbung menyebabkan pemiliknya malas memfungsikan lumbung mereka.

Selain alang, di Lombok Tengah, lumbung dikenal juga dengan sebutan sambi. Senasib dengan alang, keberadaan sambi juga sudah langka. Haji Khalid, 64 tahun, petani di Dusun Tanggong, Desa Darek, masih memiliki dua buah sambi di halaman rumahnya. Khalid sudah tak lagi memfungsikan sambinya. Hanya saja dia masih memegang konsep ketahanan pangan ala sambi. Semangat menyimpan cadangan pangan, berjaga dari segala kemungkinan, terutama di musim paceklik masih dia pertahankan. Setidaknya, Khalid tak pernah risau meskipun harga beras di pasaran sewaktu-waktu melonjak.

Mengenai hilangnya sambi di desanya, Khalid punya jawaban, “Orang-orang sekarang bilang, lebih baik menyimpan uang di dalam kantong, ketimbang menyimpannya padi di dalam sambi,” ujarnya.

Pandangan pragmatis inilah yang membuat sebagian besar petani di desanya sudah tak lagi memiliki cadangan gabah di rumah. Seluruh gabah telah dibeli pengepul sesaat setelah panen, sebagian bahkan telah mengangkat utang sebelum menanam dan dibayarkan dengan gabah hasil panen mereka. Tanpa cadangan gabah, para petani yang menanam beras akan menjadi pembeli beras dengan harga yang tak bisa mereka kendalikan.

Budayawan Lombok, Lalu Agus Faturrahman mengatakan, konsep lumbung bagi masyarakat Lombok adalah konsep ketahanan pangan dan pengelolaan masa depan. Konstrusi lumbung khas Suku Sasak itu, teruji mampu menjaga kualitas padi atau gabah yang ditampungnya. Selain memiliki jelepeng yang berfungsi mencegah masuknya tikus, atap lumbung yang terbuat dari alang-alang juga membuat padi bertahan lama. “Masyarakat kita hari maunya praktis, hingga digunakanlah atap seng. Padahal atap seng membuat padi atau gabah lebih cepat rusak,” Kata Agus.

Penataan padi yang tersimpan dalam lumbung, ternyata ada aturannya. Padi-padi disampirkan dalam bilah-bilah bambu dan disusun sesuai peruntukannya. Padi yang akan digunakan untuk bibit biasanya ditaruh di bagian depan kanan, di bagian paling belakang untuk tabungan sedangkan sebelah kiri untuk konsumsi. “Penempatan padi itu ada aturannya, sehingga jika akan diambil mereka sudah tahu sesuai kebutuhan,” katanya.

Agus menyebut pola penyimpanan padi dalam lumbung itu adalah konsep ketahanan pangan dan pengelolaan masa depan masyarakat suku Sasak. Konsep ini tergambar dalam istilah-istilah pengelompokan padi yang tersimpan dalam lumbung. Ada istilah impan kaken yang artinya bahan konsumsi jangka pendek, sangu aiq untuk tabungan jangka menengah dan sangu idup untuk bekal hidup jangka panjang. Sangu idup ini meliputi investasi berupa ternak kerbau, sapi,termasuk untuk biaya pendidikan. Sayangnya nilai-nilai itu tidak diterapkan pemerintah sebagai model pola ketahanan pangan masyarakat. “Sangat miris, petani yang memproduksi padi justru menjadi konsumen beras dengan harga yang tak bisa mereka jangkau,” kata Agus.

Tentang konsep lumbung sebagai simbol ketahanan pangan, Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Provinsi NTB punya program Lumbung Pangan Masyarakat (LPM) di 315 desa. Pola pengembangan LPM ini menurut Kepala DKP NTB, Budi Septiani, berbeda dengan lumbung tradisioanal Lombok. Pemerintah membangunkan gudang, juga memberikan memberikan bantuan uang senilai dua ton beras. Beras-beras itu bisa dipinjam petani untuk kebutuhan konsumsi selama menunggu musim panen. Pengembaliannya dilakukan setelah panen, bisa berupa beras atau gabah. “Diharapkan dua tahun berjalan, lumbung itu akan bisa mandiri,” kata Septiani.

Melihat jumlah desa di NTB yang mencapai 1046 desa, jumlah LPM yang sudah terbangun masih jauh dari ideal, “Mestinya setiap desa di NTB punya LPM masing-masing,” ujarnya.

Perihal lumbung Lombok yang memiliki kekhasan arsitektur, Septiani mengatakan pihaknya tengah mengupayakan agar program LPM untuk tahun 2018 mendatang dapat digunakan untuk membangun lumbung-lumbung tradisional, bukan gudang beras seperti saat ini. “Jika rencana itu terwujud, tidak hanya kearifan pola ketahanan pangan tradisional yang akan kita hidupkan, akan tetapi lumbung-lumbung khas itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pariwisata,” kata dia.

Konsep lumbung sebagai karya asitektur hari ini banyak digunakan sebagai konstruksi bangunan di gedung-gedung pemerintah, juga menjadi ikon pariwisata, hanya saja Agus Faturrahman memandang, ada banyak kekeliruan dalam penerapan konsep tersebut. “Sayangnya banyak bangunan berarsitektur Lumbung yang dibangun asal-asalan sehingga bentuknya menjadi aneh, tidak proposrional.” Agus menyayangkan sebagai konsep kearifan lokal ketahanan pangan, nilai-nilai yang dimiliki lumbung masih belum bisa ditransformasi dalam program-program pemerintah untuk pemberdayaan petani. Sementara ini lumbung hanya dijadikan lambang semata.

Sore itu, Hikmah meminta Lukman, anaknya menunjukkan persediaan padi dalam lumbungnya. Ada tujuh karung besar gabah, cukup untuk persediaan hingga panen mendatang. Seperti juga Khalid, petani desa Darek, Hikmah benar-benar menjalankan fungsi lumbung sebagai konsep ketahanan pangan. Dengan simpanan pangan yang dimilikinya, mereka telah bersiaga untuk kemungkinan terburuk, seperti gagal panen dan paceklik. Andai para petani lain di Lombok juga melakukan hal yang sama, tentu saja lumbuh tak akan menjadi sekedar lambang.

ABDUL LATIF APRIAMAN

Tulisan ini telah dimuat di laman tempo.co pada 27 Mei 2017

Kampung Suku Sasak “SADE” di Desa Rimbitan, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Jumat (1/3). Kampung Sade merupakan salah satu kampung yang masih menjaga tradisi Suku Sasak hingga sekarang. Dari sisi bangunan rumah, adat istiadat, dan budaya hingga sekarang, masih terjaga. TEMPO/Subekti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *