JURNALIF.COM –Aisyah pernah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Muhammad SAW yang paling mempesonakan baginya. Aisyah menjawab, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Semua perilakunya sangat menakjubkan bagiku.” Salah satunya, kecintaan beliau terhadap anak-anak. Banyak riwayat yang mengisahkan perilaku manusia mulia itu.
Dalam sebuah hadits tertulis bahwa bila Rasulullah sedang sholat dan dalam keadaan sedang sujud, maka beliau tidak akan mengubah posisi sujudnya itu sebab menyadari kedua cucunya, Hasan dan Husein, sedang menaiki punggungnya. Kedua cucu kesayangannya itu, sambil tertawa gembira, menggoyang-goyangkan tubuh sang kakek seperti sedang menunggang kuda. Dan bila seorang jamaah menghampiri karena bermaksud menurunkan mereka, Rasulullah memberi isyarat agar orang itu tetap membiarkan keduanya tetap di atas punggung beliau.
Dalam hadits yang lain, Umar pernah melihat Rasulullah sedang merangkak di tanah bermain kuda-kudaan dengan Hasan dan Husain. Ketika kedua cucunya itu berada di punggungnya, Umar lalu berkata, “Nak, sungguh indah tungganganmu.” Rasulullah segera menjawab, “Sungguh indah para penunggangnya!”
Sebagai ayah, kecintaannya kepada anaknya, Fatimah, tidak perlu diragukan lagi. Dalam sebuah hadits beliau berkata, ”Fatimah adalah bagian dariku. Siapa menyakitinya berarti menyakitiku. Siapa membuatnya gembira maka ia telah membahagiakanku.” Hadits tersebut merupakan bukti kuat akan kecintaan Rasulullah saw kepada putri bungsunya itu. Sewaktu beliau sakit keras menjelang wafatnya, ia tidak henti-hentinya menangis sebab terasa berat baginya meninggalkan Fatimah.
***
Saya terkejut dan bingung mendengar istilah “fatherless nation”. Julukan yang berarti Negara tanpa Ayah, ini pertama kali disambitkan bagi negara-negara di Afrika yang terlibat perang saudara. Hal ini mengakibatkan banyak laki-laki yang notabene adalah kepala keluarga, suami, atau ayah, meninggal. Mereka meninggalkan istri dan anak-anaknya seringkali tanpa harta.
Konon Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai “fatherless country”. Bukan karena tidak adanya ayah secara fisik, tapi karena rendahnya peran ayah terhadap pola pengasuhan anak. Kita, para ayah, kebanyakan menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak kepada ibu semata. Kita, para ayah, secara fisik ada tapi tidak memberi pengaruh dalam pendidikan keluarga. Kita, para ayah, tidak ikut membangun karakter anak.
Mungkin kita merasa sudah cukup dengan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Memberi uang, makanan, membelikan pakaian, mainan, atau menyekolahkannya di sekolah yang mahal. Itu semua sama sekali belum cukup. Kita selalu lupa dan abai memenuhi kebutuhan jiwa anak-anak kita. Seberapa sering kita menciptakan golden moment, meluangkan waktu dan bermain bersama mereka. Saat makan malam, semestinya kita menggunakan kesempatan itu untuk menyempatkan diri berbicara dari hati ke hati tentang hal-hal menarik yang ditemuinya sepanjang hari. Pernahkah kita sungguh-sungguh bertanya apa yang menjadi impiannya di masa depan? Padahal menurut pakar kesehatan keluarga, Dr. Marthin Deutsch, kehadiran dan percakapan dengan ayah secara khusus pada saat makan malam, telah merangsang seorang anak untuk berprestasi lebih baik di sekolah.
Kita mungkin akan terkejut membaca hasil penelitian para pakar sosiologi di Amerika yang menunjukkan bahwa di tahun 1960, 17,5% anak di negara-negara barat hidup tanpa kehadiran ayah biologis mereka. Tahun 1999 meningkat menjadi 38%. Fakta ini sekaligus menjelaskan apa yang menjadi mimpi buruk masyarakat kita bahwa kebanyakan pelaku tindak kejahatan tingkat tinggi adalah mereka yang rindu akan fiigur ayah dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya di beberapa negara, penjara disebut juga sebagai “a centre of fatherless men”.
Ketidakhadiran figur ayah secara fisik dan emosi diyakini sebagai pemicu anak-anak menjadi rendah diri, tidak suka bergaul bahkan cenderung anti sosial, serta kurangnya motivasi untuk sebuah pencapaian. Sebuah studi yang dilakukan oleh 1.337 dokter kesehatan yang tamat dari Universitas John Hopkins antara tahun 1948 dan 1964, menemukan bahwa putus atau hilangnya kedekatan anak dengan orang tua khususnya dengan ayah menjadi faktor utama berbagai penyakit mental dan keinginan bunuh diri dalam diri sang anak.
Bradford Wilcox, pakar masalah jender dan keluarga, seperti yang dikutip di National Review Online, mengatakan bahwa pernikahan adalah lembaga yang mengikat kuat antara orang tua dengan anak-anak mereka. Karena itu, tidak ada alasan menyerahkan pengasuhan anak kepada satu pihak, ayah saja atau ibu saja. Lebih celaka lagi bila keduanya malah “dengan senang hati” merelakan masa-masa terbaik dalam kehidupan anak mereka, mengalir bersama pembantu atau membiarkannya menemukan sendiri figur liar dan banal di jalanan.
Sebagai ayah, saya tidak ingin hal itu terjadi. Saya tidak ingin menyesali diri sebagaimana pengakuan salah seorang seniman besar di Sulawesi Selatan, Ali. Menjelang kematiannya, ia terisak, “Saya gagal mendidik anak saya. Saya terlena dan lupa.” []
(M.W.N)