Sampi

๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ช, sebagai nama hewan ternak yang berarti sapi, bisa juga dipakai untuk mengumpat, kalau sudah jengkel. ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ช!โ€”kurang lebih begitu. Seperti nama-nama hewan lainnya. Dibanding binatang lain, umpatan ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ช lebih bisa ditoleransi, dibanding ๐˜จ๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฌ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ด๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ, dan sahabat-sahabatnya itu. Umpatan ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ช kadarnya moderat, di atas sebutan ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ต atau di bawah ๐˜จ๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฌ. Tentu, ada umpatan jenis hewan yang lebih parah.

Masih kecil, aku punya paman yang punya sapi, sapi jawa, tapi bukan sapi perah. Dia punya anak angkat yatim piatu namanya Awaluddin, dipanggil ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ต karena punya bekas jahitan di dagunya. Aku dan Awal seumuran. Kalau dia pergi menyabit rumput, aku biasanya ikut, begitu juga kalau dia pergi ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ต. Aku suka momen-momen naik di punggung sapi.

Secara teoretis, aku paham cara ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ต sapi. Setidaknya, secara tradisional. Hanya perlu menjamin kebutuhan perutnya biar tidak melakukan aksi demonstrasi. Biar tidak pandai-pandai amat, aku bisa ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ธ๐˜ช๐˜ด, seperti Kewet dan orang-orang lain yang punya hewan ternak. Tidak seperti kuda, sapi tak pilih-pilih makanan. Kalau kepepet, cukup pergi mencari daun turi, maka habis perkara. Itu saja. Selebihnya, menjaganya biar tidak dicuri oleh ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ.

Jangan salah, di tempat tinggalku di masa kecil, orang-orang menjaga sapinya susah payah. Ada yang membuat berugak di dekat kandang sapinya. Ada pula yang punya ilmu ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ, biar pencurinya hanya ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ-๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ di tempat kalau beraniย  mencuri. Tapi, ada juga yang kemalingan karena maling punya ilmu ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฑ, untuk mebuat tuan rumah tidur lelap, tanpa disadari hewan ternaknya dicuri.

Ada musim-musim tertentu saat ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ mulai beraksi. Saat aku masih kecil, semua itu sering terjadi. Bila ๐˜ด๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ bergema tengah malam, itu bukan maklumat bangun tahajud atau bersiap salat subuh, tapi itu adalah ajakan untuk bangun mengejar ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ. Siapa pun yang akan mendengar biasanya akan terbangun, dari anak-anak hingga orang tua, laki-laki maupun perempuan.

Anak-anak seperti aku pun ikut mengejar, tapi bukan untuk menangkap, hanya untuk โ€œkegembiraanโ€ berlari-lari tengah malam. Ada sensasi aneh waktu itu: antara takut dan senang. Entah kenapa. Orang tua pergi mengejar dengan membawa parang, sementara anak-anak bermodal kaki, bahkan tanpa sandal jepit. Kata orang, maling tidak akan melawan anak kecil dan perempuan. Dengan modal itu, aku merasa sepertiย  pendekar; seperti Barry Prima yang mengejar Advent Bangun di malam hari.

Kadang-kadang, di tengah-tengah pengejaran itu, semua orang jadi terpencar. Tiba-tiba kita sudah menemukan diri sendiri di dekat kuburan kampung. Dalam kondisi tertentu, adrenalin takut hantu, atau pocong, atau sundel bolong, hilang secara aneh dengan sensasi takut pada maling. Di hari biasa, mana ada anak kecil yang berani ke kuburan sendirian. Lewat di ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ, yang terkenal ๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ต, pun takut.

Bukan hanya penduduk satu kampung yang bangun, tapi juga kampung-kampung tetangga yang lain. Bila Anda mendengar suara ๐˜ด๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ teriak maling, maka ๐˜ด๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ kampung tetangga pun akan menyambut teriak maling keras-keras. Instruksinya standar: โ€œ๐˜‘๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต, ๐˜ญ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฌ, ๐˜ฅ๐˜ข๐˜บ๐˜ฆโ€ฆ!โ€. Itu diteriakkan berkali-kali.

Setelah itu, biasanya orang-orang tidak tidur sampai pagi, saling cerita, baik kalau hewannya kembali maupun tak kembali.ย  Biasanya, bila malam itu hewannya tidak ketemu, maka itu berarti ๐˜ฆ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ ๐˜ฅ๐˜ฐ๐˜ฆ (yang punya hewan) akan menyerah. Jejak maling sudah hilang. Pokonya, pasrah sudah. Hanya yang ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ด๐˜ถ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฉย  yang berani pergi mencari hewannya ke pusat perdagangan atau ke pusat kampung maling di Lombok (maaf, saya tidak mau menyebut nama, biar terhindar dari UU ITE).

Semua sensasi itu memikatku di masa kecil. Itulah sebabnya aku ingin sekali mempunyai binatang ternak. Kalau tidak sapi, minimal kambinglah. Tapi, entah kenapa orang tuaku tidak pernah mau memberikan aku satu saja hewan piaraan. Bahkan, aku tidak punya seekor ayam.

Pernah suatu kali, ada program pemerintah zaman Orde Baru, pemerintah membagikan kambing cuma-cuma untuk diternak. Aku tidak mau ketinggalan, aku ambil satu. Langsung kuikat di bawah pohon ketapang belakang rumah. Aku senang sekali. Kucarikan umpan untuk memastikan dia tidak busung lapar. Tapi, tidak sampai magrib, kambingku hilang. Kurang ajar.

Aku ingin menyeret siapa pun yang mencuri kambingku di depan mahkamah Guru Mahir, orang tuaku. Kuharap, pencurinya diberi hukuman yang setimpal, dieksekusi hari itu juga. Sebelum itu, aku lapor pada Guru Mahir, ada yang mencuri kambingku. โ€œAku sudah kasi orang,โ€ kata Guru Mahir dengan tenang. Aku tak terima dan kecewa luar biasa. โ€œAku tidak mau kamu curi rumput orang,โ€ kata Guru Mahir enteng. Aku langsung terdiam, bukan karena paham, tapi karena menahan amarah. Oknum yang “menghilangkan” kambingku justru ada di depan mataku. Aku tak berani melawan, apa boleh buat.

Aku pun mencoba peruntungan lain dengan memelihara burung kecial yang kucari sendiri dan kubuatkan kandang sendiri. Seperti nasib kambingku, burung kecialku pun tidak pernah kulihat bisa hidup sampai pagi, hilang, walapun aku berulang kali mencoba. Bila kutanya pada Guru Mahir, ia hanya bilang, โ€œBurungmu dimakan kucing,โ€. Karena di rumahku banyak kucing, maka alasan itu, pada waktu itu, terdengar masuk akal.

Lama-kelamaan aku pun sadar, seperti kata orang-orang, aku tidak ๐˜ณ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฌ memelihara hewan. Ya, sudah.

*

Waktu di Yogyakarta, menempuh kursus TOEFL, aku punya teman, namanya Muchlas (Muchamad Muchlas). Aku dan temanku, Fais (Faisi Ikhwali M), mamaggilnya much less. Tapi, julukan yang semua orang sekelas tahu pada Muchlas ialah, dia selalu dipanggil ๐˜ค๐˜ข๐˜ต๐˜ต๐˜ญ๐˜ฆ (binatang ternak, ing) karena ia jurusan peternakan. Tiap kali ada teks yang terkait dengan peternakan, apalagi soal sapi, dia langsung jadi sasaran ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ญ๐˜บ.

Tak ada lain yang menjadi bahan perbincangannya, kecuali sapi. Cita-citanya cuma satu, ingin jadi peternak sapi yang hebat di Indonesia. Sialan, kenapa masih ada orang seperti dia. Nekadnya kelewatan, dia meninggalkan beasiswa Masternya, dan pergi belajar ternak ke New Zealand. Ampun deh.

Baru tiba di New Zealand, ia sudah sudah berlagak kayak cowboy. Jambangnya tiba-tiba terlihat seperti Surya Paloh. Tapi, bagiku tetap saja cowboy dan sapi tidak nyambung. Dia boleh menipu orang dengan tampang dibuat-buat itu, tapi bukan aku.

Lama aku tak mendengar kabarnya sejak itu, tahu-tahu dia nampang di panflet webinar, sebagai pemateri kunci. Tentu, tak jauh-jauh dari ilmu sapi perah, kupikir begitu. Ah aku tak peduli, di kepalaku aku masih berpikir, dia pasi pasti akan menggombal.

Tiap kali ada poster webinarnya, aku berpura-pura ingin sekali jadi pesertanya. Aku mengoloknya, dia pun tahu, aku mengoloknya. Dia tidak jera memamerkan panflet lain tembat ia jadi pemateri. aku pun tak jera berjanji mau ikut. Aku bohong, dia pun tahu, aku pun tahu bahwa dia tahu aku bohong. Begitu seterusnya.

*

Sudah beberapa minggu terakhir ini, mungkin sudah berbulan-bulan, aku tak menghitungnya. Tiap pagi, sore, siang, malam, aku disodori kertas dan pensil oleh anak-lelakiku yang ketiga, Jati, untuk menggambar sapi. Dia yang mewarnai. ๐˜š๐˜ช๐˜ข๐˜ญ, ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฑ๐˜ข ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ถ๐˜ด ๐˜ด๐˜ข๐˜ฑ๐˜ช?

Aku capek dan jengkel, tapi aku tidak bisa menolak karena aku sudah tahu dia tidak akan berhenti merengek sampai aku mulai menggambar. Umurnya baru lima tahun, tapi kalau perintah gambar sapi perah, ia tidak bakal nyerah. Soal sapi, semangatnya melebihi ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ป๐˜ป๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ช๐˜ด๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ด๐˜ต๐˜ช.

Sapinya harus sapi perah, warna loreng-loreng, yang ada susunya. Bila aku lupa menaruhkan susunya, maka dia akan memperingatkan. Bahkan, ia memperingatkan sebelum mulai menggambar, sapi yang ada susunya. Lama-lama, variasinya bertambah: sapi yang ada anaknya sambil nyusu, sapi yang ada orangnya sambil perah susunya, sapi yang ada orangnya sambil perah susu dan ada embernya. Macam-macam.

Lama-kalaman, bukan hanya aku yang jemu diteror tiap hari gambar sapi. Tapi juga ibunya. Ibunya penasaran dan bertanya, โ€œKenapa Jati pingin digambarin sapi?โ€ Dia jawab, dia ingin pelihara sapi, sapi yang bisa diperah susunya. Seiring dengan itu, permintaannya mulai bertambah, selain digambarkan sapi, dia ingin dibelikan sapi. Dia mulai merengek setiap hari.

Seperi biasa, ia mulai meneror, tiap bangun pagi ia minta ingin dibelikan sapi, tapi sapi perah.
โ€œBagaimana cara Jati kasi makan sapinya nanti?โ€ tanya ibunya.
โ€œMakanan sapi jerami,โ€ kata jawab Jati.
โ€œDari mana Jati bisa ambil jerami?โ€ tanya ibunya.
Dia terdiam, lalu dengan cepat menjawab, โ€œSapi bisa makan rumput.โ€
โ€œBagaimna cara Jati cari rumput?โ€ kejar ibunya.
Dia kembali terdiam, lalu dengan cepat menjawab, โ€œBisa sapi minum air saja.โ€

*

Terdesak oleh permintaan Jati setiap hari, suatu hari aku mengajaknya berunding, untuk mencapai kesepakatan. Aku bersikap sepertiย  DJoko Tjandra yang berupaya mengecoh aparat, mencari celah sebisanya. Setelah bernegosiasi, ia pun menurunkan permintaannya, โ€œBagaimana kalau Jati dibelikan burung saja?โ€ katanya.

Aku bukan tak mau membelikannya burung, tapi aku ingat Guru Mahir, kakek Jati. Ia akan marah kalau aku memberikan Jati memelihara burung. Menurut pandangan Guru Mahir, memelihara burung itu sama dengan menyiksa burung. Burung ingin terbang bebas, seperti kita ingin berjalan ke sana ke mari.

Hari-hari berikutnya, perundingan masih berlanjut. Aku tawarkan untuk membuatkan kolam ikan saja. Akhirnya ia pun sepakat. Aku mulai mencari bahan-bahan dan membeli peralatan seadanya. Aku langsung merekrutnya jadi tenaga kerja ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ต๐˜ด๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ณ๐˜ค๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ.

Satu dua hari ia sangat gembira meladeni, menyiram adonan pasir, sampai mengangkut batu-bata. Lama-kelamaan, ia berubah jadi mandor. Main perintah. Ia mengerahkan semua teman-temannya, bukan untuk membantu, tapi untuk bermain di kolam yang belum jadi. Batu-bata pun mulai disabotase, dijadikan rumah-rumahan.

Tidak hanya itu, ia mengambil topiku yang masih digantung, yang satu ia pakai sendiri, yang lain ia berikan ke temannya. Lalu, mereka buat rumah-rumahan sendiri. Seolah mengerti ๐˜–๐˜ฎ๐˜ฏ๐˜ช๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ด ๐˜“๐˜ข๐˜ธ, ia melawan seperti sarikat pekerja, menolak mentah-mentah apa yang diperintah. Ia seperti paham cara orang merebut alat produksi.

Berminggu-minggu aku mengeluarkan bakat terpendamku sebagai tukang, hanya untuk buat kolam ikan. Namun, aku mulai curiga, Jati mulai tidak senang. Sebab, bila kolamnya jadi, ia harus segera mengubur impiannya punya sapi. Ia tidak kehabisan akal. Pada malam hari, entah bagaimana ia punya ide, โ€œKita biarin aja ikannya mati nanti, ya?โ€ katanya. Emang kenapa? Aku bertanya. โ€œKita ganti pakai sapi,โ€ jawabnya. ๐˜ˆ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ช…!!! AHMAD SIRRULHAQ

๐˜จ๐˜ฐ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฌ: ๐˜ฎ๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ฆ๐˜ต
๐˜ฃ๐˜ข๐˜ด๐˜ฐ๐˜ฏ๐˜จ : ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ
๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ธ๐˜ฆ๐˜ตย  : ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ด ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ถ๐˜ญ ๐˜ฅ๐˜ช ๐˜ฌ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ช๐˜ต
๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ต : ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜จ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข
๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ธ๐˜ช๐˜ด : ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ข๐˜ฃ๐˜ช๐˜ต (๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต)
๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ช๐˜ฏ๐˜จ : ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช
๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜จ๐˜ข๐˜ฌ : ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฌ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ด ๐˜“๐˜ฐ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ฐ๐˜ฌ (๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ขย  ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ญ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ช ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ข๐˜ฅ๐˜ช)
๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ : ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ต๐˜ณ๐˜ข ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ค๐˜ถ๐˜ณ๐˜ช
๐˜ด๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฑ : ๐˜ฎ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ต๐˜ณ๐˜ข ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ณ ๐˜ฅ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ด๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ข๐˜ต ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ด
๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜จ : ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ถ
๐˜ด๐˜ช๐˜ฎ๐˜ฃ๐˜ช๐˜ต : ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ
๐˜‘๐˜ข๐˜จ๐˜ข๐˜ฌ ๐˜ต๐˜ช๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ต, ๐˜ญ๐˜ข๐˜ถ๐˜ฌ, ๐˜ฅ๐˜ข๐˜บ๐˜ฆโ€ฆย  : ๐˜ซ๐˜ข๐˜จ๐˜ข ๐˜ต๐˜ช๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ณ, ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ต, ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ต๐˜ข๐˜ฏ, ๐˜ถ๐˜ต๐˜ข๐˜ณ๐˜ข
๐˜ต๐˜ฆ๐˜ด๐˜ถ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜จ๐˜ถ๐˜ฉ : ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ข๐˜ญ ๐˜ฑ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜บ๐˜ข ๐˜ช๐˜ญ๐˜ฎ๐˜ถ ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฃ๐˜ข๐˜ญ
๐˜ณ๐˜ข๐˜ด๐˜ช๐˜ฌ : ๐˜ต๐˜ช๐˜ฑ๐˜ฆ ๐˜ฐ๐˜ณ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜บ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ฃ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ถ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜ด๐˜ถ๐˜ข๐˜ต๐˜ถ ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ซ๐˜ข๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ต๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ต๐˜ถ

Catatan:
Artikel ini sudah tayang di akun Facebook Ahmad Sirrulhaq pada 22 Juli 2020
pemuatannya sudah seizin penulisnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *