Cerpen Ilda Karwayu
Sekitar arah jam 10 dari tempat Joana duduk, seseorang tampak sedang fokus menatap layar laptop. Joana dapat melihat cukup jelas layar putih yang, pikirnya, seperti aplikasi menulis pada umumnya. Namun orang itu duduk membelakangi Joana sehingga yang tampak hanya punggung kecilnya. Meski tak tahu juga apa perlunya mengamati orang itu, dia tetap terpaku dengan rasa penasaran, apakah orang itu laki-laki atau perempuan.
Merasa gagal menerka jenis kelamin orang itu setelah lama mengamati, Joana sejenak memalingkan wajah ke arah hujan deras beserta angin kencang. “Dia juga tepat berhadapan dengan hujan dan angin, apa tidak khawatir laptopnya kena tempias air, ya?” gumam Joana sambil menyeruput es kopi yang sudah kehabisan es batu.
Joana sungguh tak habis pikir bagaimana cuaca akhir-akhir ini tidak dapat diprediksi. Siang tadi, baginya, adalah siang terpanas sepanjang minggu ini. Maka dari itu, sehabis dari toko buku, dia langsung meluncur ke kafe langganannya.
Es kopi bersama seloyang margherita pizza jadi pilihan Joana untuk menemaninya bersantai di hari libur itu. Sayang, belum sampai satu jam dia duduk menikmati makanan dan minumannya, angin kencang tiba-tiba datang membawa gulungan awan mendung yang gelapnya mengalahkan warna lantai kafe yang berbahan semen. Benar saja, beberapa saat kemudian, hujan turun dengan derasnya, membubarkan para pengunjung yang duduk di area tanpa atap di lantai paling atas. Beruntung sejak awal Joana memilih duduk di area bawah. Dia dapat tenang menikmati kopi, rokok, dan buku yang baru dibelinya, tanpa harus sibuk berpindah tempat bila terjadi hujan.
Joana mulai bertopang dagu, memandangi deras hujan yang, menurutnya, kian tampak seperti gorden tipis di jendela kamarnya. Sesekali dia menguap sambil mengerjapkan mata.
“Permisi, boleh pinjam korek?”
Joana terperanjat. Dagunya terangkat sedikit dari telapak tangan yang menopang, dan sepasang matanya sigap mencari sumber suara.
Kini di hadapannya berdiri orang itu. Dadanya busung, kendati tak terlalu kentara. Wajahnya, sekilas, mirip Faye Wong—penyanyi asal Hongkong yang lagu-lagunya dulu sering diputar oleh ibu Joana di rumah. Rambut orang itu pendek lurus berponi, dan kemeja kotak-kotak yang dikenakannya tampak lusuh.
“Astaga..” desis Joana. Tangannya merogoh tas selempangnya, mencari-cari korek. Baru saja Joana mengulurkan tangan, orang itu langsung meraih korek, dan sekejap kemudian rokok di bibirnya telah menyala.
“Terima kasih,” ucapnya sambil mengembalikan korek gas. Senyumnya manis meski terkesan dipaksakan. Sejenak, perempuan itu menoleh ke kursi dan meja kosong di samping kanan Joana.
“Kamu tidak keberatan saya pindah duduk di situ?” Tangan kirinya menunjuk ke arah tolehannya barusan, “Anginnya makin kencang, meja saya jadi basah,” kini giliran tangan kanannya menunjuk ke arah tempat duduknya semula.
Joana spontan mengangguk. Tangan kanannya menyilakan si perempuan untuk duduk. Diamatinya lagi perempuan yang kini berbalik arah, berjalan mengambil barang-barangnya. Joana tersenyum.
Perempuan itu duduk sembari menaruh barang-barangnya di bawah meja. Setelah beres, dia mengulurkan tangan ke arah Joana, “Terima kasih, saya Vio!”
Kini mereka terlihat seperti teman sebangku di kelas sekolah dasar—walaupun tentu saja meja dan kursi di kafe itu tidak secara sengaja ditata demikian, sebab kafe itu memang terkenal tak memiliki konsep khusus dalam penataan; pengunjung bebas saja memindahkan kursi dan meja sesuai kebutuhan mereka masing-masing. Sejak awal pun Joana duduk sembarang saja, tak mengatur kursi dan mejanya berdekatan dengan kursi atau meja lainnya.
“Joana..” Dibalasnya uluran tangan Vio. Mendadak dia salah tingkah, semacam merasa bersalah telah mengamati Vio tanpa permisi.
“Wah, Joana, Joana..” Vio mengulang-ulang namanya. Ia mulai bersenandung seraya menatap deras hujan, “Take my hand, stay Joanne. Heaven’s not ready for you..”
Joana menatap lekat Vio dan tersenyum, “Lady Gaga?”
Vio kini membalas tatapan Joana. “Iya. Kamu tahu?”
Yang ditanya mengangguk cepat. “Tentu! Lagu tentang kehilangan. Salah satu yang cukup sering kuputar dari album terbarunya: Joanne.”
“Wah, rupanya kamu banyak mendengar Lady Gaga, ya?”
Joana menguap, lantas mengangguk-angguk. “Sejak remaja. Aku tak habis pikir mengapa orang-orang di sini lebih sering membahas penampilannya, atau gosip-gosip kontroversial yang berhubungan dengannya.” Dia memalingkan wajah ke arah hujan, “Padahal, menurutku, dia itu salah satu musisi yang serius menggarap konsep musiknya; mulai dari lirik lagu, video musik, dan konser-konser. Kamu tahu, kan, tidak semua musis melakukan itu.”
Kali ini Vio yang mengangguk sambil tetap menatap Joana. “Tapi, memangnya kenapa kalau memainkan musik yang digarapkan orang lain? Ah, maksudku, bukan ditulis atau pun dikonsep sendiri oleh si penyanyi.”
“Subjektifku sendiri, sih,” Joana mengangkat bahu sambil nyengir, “bagiku pribadi itu penting. Aku jadi lebih mengapresiasi kerja mereka.”
Vio tertawa lepas. Kali ini tidak tampak dipaksakan. Joana pun tersenyum menatap Vio, dan menyeruput kembali es kopi di mejanya, kemudian mengangkat gelasnya ke arah Vio, seperti memberi isyarat menawarkan minum.
“Oh, terima kasih, saya sudah,” tangan kirinya menunjuk sisa pesanannya yang ditinggalkan di meja sebelumnya. “Jo.. oh, boleh saya panggil Jo?” Dia merapatkan kursinya ke dekat kursi Joana. “Kamu baca Erich Fromm?”
Joana sedikit terkejut kerena tak menyangka Vio akan bertanya demikian. Akan tetapi, dia segera sadar bahwa mungkin Vio memerhatikan buku yang ada di mejanya—tertumpuk bersama ponselnya. “Baru kubeli tadi, sih. Aku tertarik pada judulnya. Kamu pernah baca?”
“Ya, Escape from Freedom adalah salah satu buku Fromm yang bagus bila kamu tertarik pada konsep kebebasan manusia.”
“Kamu suka baca buku juga, Vio?”
“Iya, suka, apalagi yang berhubungan dengan manusia.”
“Manusia?” Joana mengernyitkan dahi.
“Yap! Oh, iya, saya peneliti lepas, sekarang sedang meneliti di asrama batalion tentara,” jempol kanannya menunjuk ke arah belakang mereka, “Yang gapuranya warna hijau tua di perempatan jalan sana, kamu tahu?”
Joana sedikit terbelalak sebab Vio menyebut asrama tempat dia dan keluarganya dulu tinggal. Dia mengangguk pelan, dan bertanya, “Meneliti apa?”
“Pengalaman istri tentara yang tinggal di batalion saat suami bertugas di daerah rawan konflik.”
Seperti keran yang perlahan diputar ke posisi mengalirkan air, Vio mulai banyak mengalirkan cerita tentang buku-buku yang pernah dibacanya, motivasinya meneliti para istri tentara, metode penelitian yang digunakan, juga sejumlah situs penyedia jurnal dan artikel ilmiah langganannya.
Tanpa Joana sadari, posisi duduknya telah sedikit merosot, terlihat pula dia berusaha menahan kantuk dengan sesekali mengerjap-ngerjapkan mata. Tiba-tiba muncul kilatan petir. Joana terkesiap, spontan menutup dua telinganya lalu menunduk. Melihat gelagat Joana, Vio pun langsung memeluknya. Tepat setelah itu, guntur menggelegar. Loyang pizza yang telah kosong dan gelas es kopi di atas meja Joana bergetar. Tidak hanya itu, tubuh Joana pun tampak bergetar meskipun telah ditenangkan oleh Vio—yang tidak sedikit pun melepas pelukannya.
“Matikan laptop!” seru Joana setengah berbisik pada Vio.
“Kabelnya tidak terhubung stopkontak, Jo. Aman.”
Punggung Joana ditepuk-tepuk pelan. Ada perasaan hangat yang menenangkan menyelinap ke dalam hatinya. Perasaan itu semakin mengingatkan Joana pada mendiang ayahnya, sebab sejak awal kemunculan kilat ingatan tersebut telah hadir.
Ayahnya meninggal tersambar petir tepat di depan matanya. Joana kecil, kala itu, dimintai tolong oleh ayahnya mengambil mangkuk plastik berisi udang-udang kecil sebagai umpan pancing. Berbalut pakaian renang kesayangan, Joana menggenggam mangkuk kecil, kemudian berlari menuju ayahnya yang berdiri sendirian di atas karang-karang besar, menghadap lautan. Langkah Joana belum jauh dari tempatnya mengambil mangkuk kecil ketika petir tiba-tiba menyambar tubuh ayahnya. Padahal hujan sedang tidak turun pada saat itu. Orang-orang berkaus loreng dengan celana pendek hijau tua, yang tadinya juga sedang memancing, beramai-ramai menghampirinya; pun, sebagiannya lagi berlari awas menuju ayahnya—teman se-letting mereka di batalion. Joana membeku, lalu tak sadarkan diri.
“Oh, sudah bangun?” Vio mengusap poni yang menutupi wajah Joana, kemudian menuangkan air putih ke gelas kaca.
Joana mengucek-ngucek matanya. “Itu dari mana?”
“Tadi kupanggil pelayan untuk bawakan air putih,” timpal Vio sembari menyodorkan gelas berisi penuh air putih.
Dengan sigap Joana merapikan posisi duduk, rambut, dan kausnya. Air yang disodorkan Vio diambilnya. “Terima kasih, Vio.”
“Apa barusan aku tertidur lama?” diletakkannya gelas yang kini telah kosong di atas mejanya.
“Lumayan. Lihat, hujan telah reda.”
Joana takjub pada dirinya sendiri. Bahkan dia tak sadar hujan telah hilang. Vio sedang beres-beres—memasukkan laptop dan kabel charger ke dalam tasnya di bawah meja, juga membuang isi asbak di mejanya dan di meja Joana.
Joana bertanya pada Vio setelah menyadari loyang pizza dan gelas es kopinya tak ada lagi di meja.
“Oh, sudah diangkut pelayan. Mau makan lagi? Makan, ya! Saya mau pesan nasi goreng,” ajak Vio dengan lantang dari dekat tempat sampah yang berjarak beberapa meter dari tempat mereka duduk.
Lampu-lampu kafe mulai dinyalakan. Suara kodok pun mulai nyaring terdengar. Joana meraih ponselnya dari atas meja, dan seketika merasakan dingin benda itu mengaliri telapak tangannya. Perlahan dipencetnya tombol di tepi ponsel.
2021
____________
ILDA KARWAYU, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan dua buku puisi, yakni: Eulogi (PBP, 2018) dan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram. Sehari-hari mengajar bahasa Inggris dan BIPA di Mataram Lingua Franca Institute (MaLFI).
Ilustrasi karya Yuspianal Imtihan
mix media on paper
30 x 40 cm