Kisah Sri Muhayati dan Pemulihan Trauma Penyintas Genosida 1965

JURNALIF – Independen — 3 Oktober 2021. Pada Minggu yang cerah itu belasan orang lanjut usia duduk di teras beralas tikar di rumah Mbah Sangidu di sebuah desa di Bantul, Yogyakarta. Mereka berbincang apa saja, mulai dari soal sejarah, pandemi Covid-19, kondisi kawan mereka yang sakit atau baru saja dijemput malaikat maut.

Sri Muhayati, 77 tahun, datang belakangan dan duduk di pojok teras. Sambil menyapa teman-temannya sesama penyintas peristiwa Genosida 1965, ia meletakkan beberapa buku dan majalah di atas tikar. Perempuan yang pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga mengeluarkan tensi meter dari tasnya.

Satu per satu para lansia itu mendekati Muhayati, minta diukur tekanan darahnya. Sambil menunggu giliran, yang lain membaca buku atau majalah yang dibawa Muhayati. Salah satu majalah yang tersedia adalah Fakta 65: untuk Mencari Kebenaran yang diterbitkan oleh Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran (YPKP) 65.

“Ayo jangan tertawa dulu, biar ukuran tekanan darahnya bisa pas,” ujar Muhayati sambil memasangkan “belalai” tensi meter ke lengan kiri seorang temannya. Ia kemudian mencatat hasil tekanan darah dalam buku catatan kecil. “Banyak makan mentimun,” ujarnya kepada “pasien” yang memiliki tekanan darah tinggi di atas normal.

Pisang rebus, kacang rebus dan teh panas menemani pertemuan mereka. Dalam pertemuan itu Muhayati memberikan sambutan singkat. Setelah menyinggung soal sejarah peristiwa tahun 1965 yang semakin terbuka, ia menyampaikan harapan agar anak dan cucu para penyintas bisa terlibat dalam pertemuan. “Supaya bisa membuka trauma dan menghilangkan stigma kepada penyintas dan keluarganya,” ujarnya.

keterangan foto: Sri Muhayati, seorang penyintas Genosida 1965 sedang memasangkan alat tensi meter kepada seorang penyintas lainnya saat pertemuan para penyitas Genosida 1965 di rumah Mbah Sangidu di Bantul, Minggu (3/10). Jebolan Fakultas Kedokteran UGM itu selalu memeriksa kesehatan para penyintas. Muhayati adalah seorang penyintas yang mempunyai semangat tinggi menyembuhkan trauma penyintas Genosida 1965 dan keluarganya. (Bambang Muryanto)

Muhayati mengingatkan bahwa keluarga penyintas juga mengalami trauma berat dan dirundung stigma negatif. Selama ini mereka hanya mendapat narasi sejarah versi Orde Baru yang dipelajari di sekolah atau dalam film tentang Gerakan 30 September yang selalu diputar setiap tahun itu. “Jadi perlu dibuka wawasannya,” tambahnya.

Mbah Sambing yang duduk sambil menyenderkan punggungnya ke tembok mengutarakan pendapat sama. Belum ada penyelesaian kasus persekusi dan pembunuhan massal akibat peristiwa tahun 1965, yang juga disebut sebagai Genosida 1965, sehingga perjuangan harus dilanjutkan. “Kami sedang berusaha mengajak anak-anak muda,” ujarnya.

Para penyintas yang tinggal di Bantul itu berkumpul di rumah Mbah Sangidu tiap selapan atau 35 hari. Pertemuan ini adalah salah satu cara untuk menghilangkan trauma korban dan keluarganya. Mereka menjadi korban kemelut politik pada tahun 1965 yang diikuti pembunuhan sejumlah petinggi militer Angkatan Darat. Militer menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di belakang gerakan itu.

Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jenderal Soeharto melakukan pembersihan terhadap siapa saja yang dituduh menjadi anggota atau berafiliasi dengan PKI. Para sejarawan memperkirakan aparat negara dan kelompok sipil yang didukungnya melakukan pembunuhan massal dengan korban antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa. Kasus ini adalah salah satu genosida terburuk di dunia.

Puluhan ribu orang lainnya dikirim ke penjara tanpa melalui proses pengadilan atau menjalani kerja paksa di Pulau Buru. Selama menjalani hukuman itu, mereka disiksa dan bahkan dibunuh. “Pokoknya 3B: Bui, Buang, dan Bunuh,” ujar Muhayati saat ditemui di rumahnya, 26 November 2021. Para tahanan perempuan mengalami kekerasan seksual baik saat pemeriksaan maupun ketika menjalani hukuman penjara. Mereka umumnya ditelanjangi dengan dalih mencari cap komunis di tubuhnya.

Pengalaman masa lalu yang “gelap”, wacana sejarah versi Orde Baru yang masih dominan dengan stigma buruk terhadap anggota yang punya afiliasi dengan PKI, negara yang belum mau mengakui kesalahannya, membuat banyak penyintas masih trauma. Ini juga menimpa generasi keduanya. Sehingga ada keluarga para penyintas yang enggan membicarakan masa lalunya, menarik diri secara sosial, dan bahkan “meyembunyikan” orangtuanya.

***

Muhayati dihormati di kalangan penyintas Genosida 1965. Keterlibatannya dalam komunitas korban ini bermula dari aktivitasnya menemani Sulami Djoyoprawiro, salah satu pendiri Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) mengunjungi dan mendata para penyintas di berbagai kota. Selepas dari YPKP, Muhayati terus mengunjungi para penyintas di pelosok Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Ia ingin menyembuhkan trauma para penyintas agar hidup mereka tidak terpuruk. Perempuan berkarakter tegas ini mendorong mereka agar tetap produktif sehingga berguna bagi lingkungannya. Muhayati juga penyintas kasus 1965. Orang tuanya anggota PKI. Muhayati juga anggota Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai kiri itu.

Setelah peristiwa Gerakan 30 September meletus, ayahnya ditangkap militer, November 1965. Tak berapa lama, Muhayati bersama ibunya, Musriah, juga ditangkap di rumahnya di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Mereka selalu bersama ketika diterungku di berbagai tempat. Terakhir Musriah menghuni LP Ambarawa dan bebas tahun 1968. Sedangkan Muhayati menghuni Penjara Perempuan Bulu, Semarang, dan bebas tahun 1970.

Selama menjalani hukuman, Muhayati menyaksikan para tahanan disiksa dan yang perempuan mengalami kekerasan seksual. Tetapi Muhayati dan ibunya tidak pernah mengalami pelecehan seksual. “Karena saya berani bicara. Jangan berani coba-coba,” ujarnya sambil menunjukkan gerakan tangan mengibas. Itu adalah sebuah isyarat mengusir jika ada tangan pria mau menyentuh tubuhnya.

Muhayati melihat ayahnya terakhir kali saat ditahan di Benteng Vredeburgh, Yogyakarta, menjelang penghujung tahun 1965. Setelah dipindahkan ke penjara di Wonosobo, Muhadi bersama puluhan tahanan lainnya dieksekusi dan dikuburkan secara massal di Hutan Situkup di Kabupaten Wonosobo, 3 Maret 1966.

Muhayati berhasil menemukan lokasi kuburan massal itu dan menggalinya pada 16 November 2000. Penggalian yang dilakukan dibawah guyuran hujan lebat itu menemukan 21 kerangka. Jurnalis video Lexy Junior Rambadeta mengabadikan proses penggalian ini dalam film dokumenter berjudul “Mass Grave”. “Itu adalah penggalian kuburan massal yang pertama,” kata Muhayati.

Salah satu korban Genosida 1965 lainnya adalah Theresia Kadmiyati. Perempuan 76 tahun ini tinggal bersama anak dan cucunya di sebuah desa yang penuh dengan pohon besar di Bantul selatan. Desa ini menjadi saksi ketika tanggal 10 Oktober 1965 ia ditangkap dan ditahan pada suatu kamp di Bantul selama satu tahun.

Semasa muda Kadmiyati ikut kegiatan kebudayaan yang diselenggarakan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kesenian yang dianggap memiliki afiliasi dengan PKI. Ia juga mengajar di Taman Kanak-Kanak (TK) Melati yang diorganisir Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan progresif yang juga dituduh mendukung PKI.

Kadmiyati sempat dilepas sebelum akhirnya ditahan kembali pada tahun 1968. Ia dituduh menyembunyikan kakaknya yang dianggap pendukung PKI. Waktu itu kakaknya pulang ke Bantul dari tempatnya mengajar di Jawa Timur.  “Saya ditahan di Kodim Bantul. Di situ saya mengalami kekerasan seksual,” ujarnya.

Trauma Penyintas dan Upaya Pemulihannya

Kekerasan selama penahanan menyebabkan Kadmiyati pernah mengalami trauma berat. Kalau mendengar suara mobil yang mirip dengan kendaraan militer yang dulu digunakan untuk menangkapnya, itu saja sudah cukup membuatnya berdebar-debar. “Bahkan melihat polisi, apalagi tantara, jantung rasanya mau copot,” kata dia.

Kadmiyati menceritakan peristiwa yang dialaminya pasca G-30-S di teras rumahnya. Di pojok teras, ada sebuah rak kecil berisi buku-buku yang membahas peristiwa G-30-S, salah satunya, “Suara Perempuan Korban Tragedi ’65” karya peneliti, Ita F. Nadia.

Ada juga satu halaman berita Harian Kompas yang mengulas pertunjukkan teater Tamara dengan lakon “Gejolak Makam Keramat”, dikemas dalam pigura dan disandarkan pada rak buku itu. Kadmiyati dan para penyintas Genosida 1965 di Yogyakarta adalah aktor utama dalam pentas yang mempersoalkan Genosida 1965 yang berlangsung di Yogyakarta, 2017 lalu.

Kadmiyati mengabadikan pengalaman pribadinya dalam bentuk tembang atau lagu jawa. Satu blok not kecil sudah penuh dengan tembang gubahannya. “Saya lebih mudah membuat tembang dari pada menulis. Tembang adalah intisari tulisan yang panjang,” katanya.

Ia mencoba menghilangkan trauma itu dengan banyak bersilaturahmi kepada tetangganya, berbicara tentang kehidupan sehari-hari. Ia mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapat jalan yang baik, mencerahkan pikiran, dan mengurangi beban di hati.

Bercerita kepada anak-anak muda dan mengikuti berbagai pertemuan yang membicarakan sejarah masa lalu juga sangat mengurangi traumanya. Dalam pertemuan seperti itu, Kadmiyati sering memberikan kesaksian dalam bentuk tembang atau lagu jawa.

Salah satu tembang pangkur karyanya berjudul “Nguda Rasa” (berbagi pengalaman), yang isinya menceritakan kisah masa lalunya saat ditangkap. Tembang ini pernah dinyanyikannya dalam sebuah forum di Universitas Melbourne, Australian, Oktober 2016. “Itu semua membuat kita semangat karena dimanusiakan,” ujar nenek empat cucu ini.

Walaupun traumanya sudah jauh berkurang, ketakutan masih menghantui manakala ia mengikuti suatu pertemuan. Apalagi di Yogyakarta ada organisasi berkedok agama yang sering “menyerang” mereka yang dianggap komunis.

Keluarga Kadmiyati juga belum sepenuhnya bisa berdamai dengan masa lalu orangtuanya. Dari dua anaknya, anaknya yang sulung masih tidak rela jika Kadmiyati sering datang ke pertemuan para penyintas.

Sebagai ibu, Kadmiyati tidak pernah membicarakan masa lalunya kepada kedua anaknya. Terlalu gelap dan berat. Mungkin dua anaknya tahu masa lalunya dari orang lain atau membaca buku berjudul “Bertahan dalam Impunitas, Kisah Para Perempuan Penyintas yang Tak Kunjung Meraih Keadilan” (2015) yang berada di rak buku. Sepenggal kisah Kadmiyati yang pedih ada dalam buku itu.

Keterangan foto: Kadmiyati adalah seorang penyintas Genosida 1965. Ia ditangkap karena sering ikut Kegiatan Lekra dan mengajar TK Melati yang diorganisir oleh Gerwani. Kadmiyati sedang memegang sebuah berita dari Harian Kompas yang dipigura. Berita itu memuat kegiatan Teater Tamara yang mementaskan lakon Gejolak Makam Keramat yang pentas di Yogyakarta, 2017 lalu. Kadmiyati dan para penyintas Genosida 1965 menjadi aktor dalam pentas itu. (Bambang Muryanto)

Setiap penyintas punya cara masing-masing untuk mengatasi traumanya. Muhayati mengatasi traumanya dengan memilih ikhlas atas apa yang terjadi di masa lalu dan memberikan makna terhadap apa yang dialaminya. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ajaran neneknya membuat ia berhati kukuh. “Itu adalah jalan saya yang sudah ditentukan Tuhan,” ujarnya.

Sikap Muhayati itu sejalan dengan buah pikiran Nani Nurrachman Sutojo, anak Mayor Jenderal Sutojo Siswomihardjo, salah seorang petinggi Angkatan Darat yang dibunuh pada 30 September 1965. Nani menuangkan pengalamannya itu dalam buku “Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965,” Buku yang ditulis Nani itu adalah refleksi pengalaman melepaskan trauma dari masa lalu.

Nani menyatakan, tragedi itu tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya selalu diingat. “Rasa sakit dan penderitaan seseorang tidak dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan dengan penderitaan orang lain, tetapi hanya dapat ditemukan maknanya jika yang mengalami dapat memberi arti bagi hidupnya,” tulisnya.

Semangat Muhayati itu yang mengilhami Direktur Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak Asasi Manusia (Fopperham), M. Noor Romadlon (Andon) untuk meneruskannya. Ia pun itu membuat program bernama “One Mother, One Week” pada 2014. Fopperham adalah organisasi yang didirikan untuk mendampingi para penyintas Genosida 1965.

Dalam program “One Mother, One Week”, relawan mahasiswa yang direkrut Fopperham dan seorang penyintas mengunjungi para penyintas sekali dalam seminggu. Lima penyintas sepuh menjadi “leader”, yaitu Sri Muhayati, Hartiti, Kadmiyati, Endang Lestari, dan Sumarmiyati (almarhum). Program ini berhenti tahun 2017 dan bermetamorfosis menjadi “Gerakan Selangkah Meraih Berkah Ngurusi Simbah”, dan “Jogja Sapa Lansia.” Dua program ini, yang bentuknya juga mengunjungi para penyintas, berhenti saat awal pandemi, Maret 2020 lalu.

Andon menulis refleksinya atas tiga program itu dalam buku berjudul “Model-model Gerakan Kerelawanan, Refleksi dan Pengalaman di Yogyakarta” (2020). “Jiwa-jiwa struggle itulah yang ingin kami tiru dan publikasikan sebagai warisan bangsa ini,” tulis Adon dalam pengantar buku itu. Buku ini juga mencatat seorang relawan “One Mother, One Week” melihat seorang penyintas di Ponjong, Gunung Kidul yang begitu gembira dikunjungi Muhayati.

Dijenguk Muhayati, Simbah berumur 77 tahun bernama Suwasti itu matanya berkaca-kaca dan menyatakan sangat gembira. “Bertemu dengan teman (sesama penyintas), mereka bisa saling cerita. Secara psikologis ini adalah bentuk trauma healing,” ujarnya. Buku yang sama juga mencatat ada penyintas yang menolak kunjungan penyintas dan relawan karena masih menyimpan ketakutan mendalam dan trauma bahwa kejadian sama akan terulang lagi.

Muhayati kini sudah tidak segesit dulu karena persoalan kesehatan. Tetapi semangatnya masih menyala. Ia selalu datang ke pertemuan penyintas di rumah Mbah Sangidu atau bersama Andon mengunjungi para penyintas.

Trauma Generasi Kedua

Bukan hanya korban yang mengalami trauma. Pipit Ambarmirah, 40 tahun, adalah anak sulung dari orangtua yang menjadi penyintas Genosida 1965. Ayahnya, Leo Mulyono yang jago menggambar dibuang dan menjalani kerja paksa di Pulau Buru. Ibunya, Deborah Oni Ponirah yang piawai bermain harmonika, diterungku di Penjara Perempuan, Plantungan.

Leo Mulyono beberapa kali disebut dalam buku “Mutiara di Padang Ilalang” karya Tedjabayu, anak pasangan perupa Sudjojono dan Mia Bustam. Dalam buku yang ilustrasinya dibuat oleh Leo itu, Tedja menceritakan pengalamannya menjalani hukuman mulai dari Yogyakarta hingga ke Pulau Buru.

Saat ditemui di rumahnya, Pipit bercerita, ibunya tidak pernah membuka masa lalunya. Sedangkan ayahnya bercerita tentang pengalaman hidupnya tetapi tidak pernah menyebutkan nama suatu penjara dan Pulau Buru.

Membicarakan masa lalu ternyata bukan sesuatu yang mudah. Pipit masih duduk kelas III SMA ketika mendengar teman-teman orangtuanya bercerita tentang sejarah masa lalu ibu dan ayahnya.  Ia terguncang dan mengalami trauma. “Saya menjadi ngedrop, benci, marah sama bapak dan ibu,” ujar ibu dari dua anak itu.

Pipit yang semula adalah remaja yang optimis berubah menjadi tidak percaya diri dan menarik diri dari pergaulan sosial. Ia membayangkan masa depannya akan suram seperti cerita keluarga penyintas yang sering masuk ke telinganya. Pipit mengaku trauma yang kemungkinan karena belum mengetahui kisah utuh gerakan 30 September dan dampaknya itu. Pengetahuannya baru sebatas sejarah yang diajarkan di sekolah, yang inti pesan propaganda yang disampaikan adalah PKI itu jahat dan membunuh para jenderal.

Perspektifnya mulai berubah ketika ia kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM). Waktu itu ia diminta mengantarkan ayahnya naik motor ke sebuah diskusi tentang sejarah Genosida 1965 yang diadakan mahasiswa UGM. “Saya mengikuti diskusi itu, di situ saya mulai mendengarkan cerita dari bapak secara langsung,” ujar Pipit.

Sejak itu Pipit sering mengantarkan ayahnya ke acara-acara yang membahas Genosida 65. Beberapa teman ayahnya merasa senang melihat Pipit mengantarkan ayahnya. Sebab anak mereka tidak mau melakukan hal yang sama.

Pemahamannya semakin baik ketika ia mulai berinteraksi dengan Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat Indonesia (Syarikat Indonesia). Organisasi ini didirikan para intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) untuk mendorong rekonsiliasi dengan eks tahanan politik 1965.

Pertemuannya dengan para sejarawan makin menyempurnakan kesadaran historisnya tentang Genosida 1965. Dari situ, ia bisa berubah 180 derajad dan berdamai dengan masa lalu orangtuanya.  Kepercayaan dirinya pulih Kembali. Ia bisa hidup dengan lebih tenang dalam menghadapi masa depan. “Ternyata bapak dan ibu tidak bersalah, mereka hanya korban dari sebuah sistem,” ujarnya.

Setelah itu Pipit baru berani bertanya tentang masa lalu kepada ayahnya. Tetapi kepada ibunya, ia tidak berani bertanya. “Saya mendengar kisah ibu dari teman-temannya waktu bicara di Syarikat. Saya tidak tega melakukan konfirmasi,” katanya.

Kini Pipit ikut mengadvokasi para penyintas Genosida 1965. Ia adalah koordinator Kiprah Perempuan (Kipper) yang menjadi tempat berkumpul para perempuan penyintas. Ia berharap para generasi kedua mau membuka pikirannya agar mendapatkan gambaran sejarah yang utuh tentang Genosida 1965.

Syarat Penuntasan Trauma

Baskara T. Wardaya, ahli sejarah dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengidentifikasi ada beberapa alasan mengapa para penyintas Genosida 1965 dan generasi kedua masih banyak yang mengalami trauma. “Paling mendasar adalah kualitas rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa dan invididu itu yang perlu dipertanyakan,” ujarnya saat dihubungi melalui telepon.

Penulis buku “Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia, 1953-1963” itu mengatakan, kualitas kemanusian yang rendah menyebabkan Bangsa Indonesia tidak bisa bersimpati kepada korban dari suatu peristiwa. Akibatnya, penderitaan mereka yang kalah dalam “panggung sejarah” itu tidak didengarkan.

Baskara berharap sistem pendidikan di sekolah, keluarga, dan lembaga agama bisa menanamkan nilai-nilai kemanusiaan secara mendalam. Pembangunan rasa kemanusiaan harus menjadi prioritas, bukan semata fisik saja. “Jika rasa kemanusiaan Bangsa Indonesia makin besar, saya optimis bisa mempengaruhi negara agar mengakui kesalahan pada masa lalu,” tegasnya.

Ia juga menegaskan, pengakuan negara atas kesalahannya pada Genosida 1965 juga kunci penting untuk menghilangkan trauma penyintas dan keluarganya. Fakta-fakta sejarah menunjukkan aparat negara (militer) terlibat langsung atau mensponsori kelompok sipil agar membunuh para pendukung PKI, yang jumlahnya ditaksir antara 500 ribu hingga 1 juta jiwa itu.

International People Tribunal (IPT) di Den Haag, November 2015 juga memutuskan negara Indonesia harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya. Tetapi negara memang belum kunjung mengakui kesalahannya. Baskara mengatakan, ini karena kelompok militer dan sipil yang menjadi pelaku Genosida 1965 masih menguasai negara.  “Absennya pengakuan negara ini menyebabkan berbagai narasi alternatif sejarah tentang Genosida 1965 tidak bisa masuk dalam kurikulum resmi pendidikan,” tambah Baskara.

Dengan situasi saat ini, masyarakat hanya menerima sejarah versi Orde Baru. Sejak awal, wacana alternatif sejarah Genosida 1965 hanya bisa beredar di kalangan intelektual saja. Wacana alternatif itu bisa dibaca dalam buku “Pre Eleminary Analysis of the October 1965 Coup in Indonesia” karya Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey atau “Buku Militer dan Politik di Indonesia” karya Harold Crouch. Buku ini sempat dilarang pada paruh kedua tahun 1980-an.

Setelah Reformasi 1998, wacana sejarah alternatif semakin bermunculan. Antara lain, buku “Propaganda & Genosida di Indonesia, Sejarah Rekayasa Hantu 1965” karya Saskia E. Wieringga dan Nursyahbani Katjasungkana dan “Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” karya John Rossa. Fim dokumenter juga makin banyak yang berkisah soal genosida 1965. Salah satunya “Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer.

Bagi Baskara, pengakuan salah dan permintaan maaf dari negara dalam kasus 1965 ini masih jauh. Untuk itu, yang bisa terus dilakukan adalah memperbanyak true story telling (cerita mengungkapkan kebenaran) soal kasus itu, baik dari penyintas maupun pelaku. Pemerintah harus melindungi semua yang berbicara tentang isu ini. “Jika nanti terbukti tidak bersalah, ya negara tidak perlu meminta maaf. Tetapi kalau salah, ya meminta maaf,” ujar Baskara.

Bagi Andon, makin banyaknya cerita dan pengakuan soal peristiwa 1965, itu bisa menjadi bagian dari “demokratisasi pengetahuan”, khususnya soal Genosida 1965. Menurut Baskara, ini merupakan upaya yang penting dilakukan sebagai bagian dari upaya pemulihan. “Generasi muda mulai banyak membaca sejarah versi alternatif. Ini bisa menjadi bagian untuk menyembuhkan luka, dan pandangan mereka ke depan pasti akan beda,” kata Baskara.

Penulis: Bambang Muryanto

Sumber: https://independen.id/read/khusus/1176/kisah-sri-muhayati-dan-pemulihan-trauma-penyintas-genosida-1965/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *